14/03/24-15/03/14
Aku anak semata wayang mereka yang pernah mereka manjakan, yang sempat menjadi prioritas utama. Sayangnya, semua itu tidak bertahan lama semua hilang saat aku benar-benar membutuhkannya.
Dulu aku yang selalu mereka temani tak pernah mereka biarkan aku sendiri. Sekarang aku benar-benar menjalani duniaku tanpa kehadiran mereka.
Mereka ada, namun perannya hilang. Aku tahu kisah mereka telah berakhir tapi bagaiamana dengan aku yang merupakan bagian dari kisah mereka? Apa aku harus ikut berakhir?Aku ingin egois untuk yang satu ini tapi tidak bisa ego merwka lebih besar dari ku,aku kalah.
Aku Irene Gwen Sagara. Usiaku 16 Tahun. Aku masih duduk di bangku SMA dan bersekolah di salah satu sekolah SMA 1 ENDROMEDA. Sekolah swasta elite dengan fasilitas lengkap dan kemegahan, rata-rata yang bersekolah disana dari kalangan atas. Orang-orang mengenalku dengan pribadi yang mudah bergaul dan berteman. Namun, meskipun aku memiliki banyak teman tapi tidak yang benar –benar menjadi teman yang selalu menemaniku. Mereka hanya tahu aku dari luarnya tidak siapa aku yang sebenarnya.
SAGARA nama yang dimiliki seluruh keluarga pihak Papaku, nama turun temurun yang merupakan nama kakek buyutku .Di masyarakat keluarga cukup di hormati dan sangat di segani. Keluarga SAGARA merupakan pengusaha sukses yang sangat kaya raya, alias bisa dikatakan setara konglomerat.
Uang dimataku adalah hal yang kecil. Tetapi yang dimaksud kecil disini bukanlah hal yang membahagiakanku. Yang kubutuhkan untuk membuatku bahagia adalah kehadiran mereka, Papa dan Mama. Aku bukan mengharapkan mereka untuk bersatu tetapi aku hanya mengharapkan mereka tidak meninggalkan perannya untukku, aku hanya ingin mereka menghampiri batinku. Batinku yang selalu mengharapkan hangatnya peran mereka yang menyelimuti kembali.
Sama halnya seperti saat ini lagi dan lagi, di malam yang dingin dan sunyi ku larut dengan harapan yang tak kunjung terkabul. Aku meringkuk di bawah selimut yang menutupi sekujur tubuhku. Aku menangis terisak saat sakit yang tertanam dibatinku dan fisikku menyerang raga ini secara bersamaan. Di tengah dingin dan sakit ini raga hangat mendekapku erat dengan ucapan lembut yang menenangkan.
“Sudahi Nak, kamu tidak sendiri. Masih ada Nenek di sini.” Ucap suara tua yang merupakan Nenekku satu –satunya orang yang meninggalkanku. Meskipun tak jarang aku menolak kehadirannya.
Mendengar ucapan lembut dan ketulusan Nenek membuat air mataku menderas rasanya batinku yang sangat kecewa terhadap diriku. Malam ini aku tertidur dengan rasa sakit yang sama yang tak kunjung berakhir.AUTHOR POV
Irene terbangun dari tidurnya dengan plaster penurun panas yang menghiasi dahinya.
Lalu ia tersenyum batinnya berkata, ‘Terimakasih’
Irene yang pakaian lengkap seragamnya menuruni tangga, sudah terlihat dari kejauhan Kakek dan Neneknya yang telah ada di meja makan. Seperti biasa raut wajah Kakek yang datar dan dingin yang menatapku tajam berbanding terbalik dengan Nenek yang raut wajah menyambutku pagi hari dengan senyuman yang lembut dan tatapan yang hangat.
“Sini Nak, sarapan dulu.” Ajak Nenek.
“Maaf Nek, udah siang takut kesiangan nanti. Dadah Nenek Irene berangkat yaa.” Irene dengan tergesa-gesa pergi untuk berangkat Sekolah.
“Sudahlah Antika jangan pedulikan anak itu!” Ucap sang Kakek kepada Nenek yang seketika raut wajahnya berubah.
“Irene itu cucu kita kan? Tolong jaga hatinya. ” Nenek yang sedang menyantap makanannya tiba-tiba berhenti memakannya dan meninggalkan ruang makan.
Irene memasuki gerbang Sekolah dengan wajahnya yang sangat ceria dan disambut sapaan hangat dari hampir seluruh murid yang melihat dan mengenalnya.
Seakan – akan yang dialami pada malam harinya sudah berlalu dan ia lupakan.
Irene memasuki kelasnya dan duduk di sebelah temannya yang bernama Ocha (nama panggilan).nama aslinya Cheisya Octavia Grama,ia adalah teman sekelas Irene, bisa dikatakan Ocha salah satu teman dekat Irene di Kelas. Ocha tau akan keadannya Irene.
“Irene... Tolongin gue lagi bingung banget ini.” Ocha dengan excited meminta tolong.
“Santai dulu dong baru sampai kelas juga udah heboh aja, kenapa Chaa?”Dengan kaget Irene melihat Ocha yang brutal.
“Irene gue bingung banget mau kasih kado apa buat Mama gue, karena bentar lagi ulang tahun, gue bingung banget saran dong dari Lo.. eh Lo nanti datang ya ke acara ulang tahun Mama gue.” Dengan exited Ocha meminta saran. Tetapi, Irene seketika hilang raut wajah yang cerianya.
Tiba-tiba saja Irene teringat sang Mama yang ia harapkan untuk bisa bertemu.
“Ren! Ayolah tolongin gue pliss gue bingung banget...” Dengan tangan mengguncangkan bahu Irene. Irene terdiam beberapa saat dan setelah itu Irene mulai memberikan sarannya.
“Hufth... Saran gue lo kasih aja barang sederhana tapi itu sangat berarti banget buat Mama Lo.” Irene memberikan sarannya dengan simple
“Iya apa Ren gue minta saran barangnya bukan kaya teka-teki kaya gini.” Ocha memelas kepada Irene.
“Gue gak tau Cha gue gak pernah ada kesempatan ngasih kado ke Mama gue jadi gue gak tau!!!” Dengan nada bicara yang tinggi dan mengucapkannya dengan hilang kendali. Mereka sama-sama terdiam dan saling menatap, keceriaan diantara mereka pudar terutama pada Irene.
“M-maaf Ren.” Dengan lesu Ocha meminta maaf kepada Irene.
“Gakpapa.” Jawab Irene dengan lesu dan Irene langsung keluar meninggalkan Ocha.Saat jam istirahat tiba, Ocha menghampiri Irene untuk meminta maaf kepada Irene. Irene yang masih memikirkan hal itu dengan menyendiri di sebuah bangku sembari membaca sebuah buku.
“Ren, gue mau minta maaf yang tadi pagi. Maaf kalo itu menyinggung Lo, gue bener-bener gak tau Lo bakalan kepikiran lagi kayak gini.” Dengan suara yang lesu Ocha meminta maaf kepada Irene. Lalu tiba-tiba Irene menutup bukunya dan menatap Ocha dan mulai tersenyum.
“Gakpapa Cha, gue yang maaf tadi gue gak bisa kontrol emosi gue. Oh iya Lo jadinya mau ngasih kado apa buat Mama Lo?” Dengan raut wajah yang kembali tersenyum Irene menjawab Ocha.
“Gakpapa Ren. Gue kayanya mau ngasih kado kayak album yang isinya foto-foto masa kecil gue sama Mama gue. Bagus gak menurut Lo.” Dengan ucapan Ocha, Irene hampir saja terbawa perasaan lagi tapi ia berusaha menahannya.
“Wah itu bagus banget si Cha. Tambahin bucket bunga kayaknya lebih oke Cha, menurut gue ngasih bunga itu kaya memberikan bunga kasih gitu ngerti gak sih Lo. Pokoknya selagi ada Lo harus bahagiain Mama Lo.” Ucap Irene dengan super excited memberikan sarannya. Ocha menatap Irene dengan senyuman tipis dan tatapan yang terharu.
“Ren, makasih yah. Lo emang terbaik. Gue yakin suatu saat Lo juga bakalan ngerasain ini tapi harus dengan kesabaran dan jangan menyerah. Janji gak sedih.” Ocha meyakinkan Irene dan mereka berjanji dengan menyatukan jari kelingking mereka, mereka mulai tersenyum ceria kembali.
°•○●○•°
Janlup vote and komen ya prennn...
Btw cerita ini bakal lebih sering update dari pada cerita ku yang lain.
Buat reader yang baru nemu akun ku ini kalian bisa baca ya dua cerita ku yang lain.
Arigatou gozaimase🌷
Babye prenn👋👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA YANG TERBENAM
Jugendliteraturmenjalani semuanya sendiri bukan berarti tak membutuhkan seseorang. ⚠️Plagiat dilarang mendekat