chapter 10.

4 0 0
                                    

Saat berada di meja makan, semuanya berbincang-bincang dengan baik sambil menikmati hidangan yang tersaji. Setelah makan, Mama Jeffran pun bertanya kepada mereka.

"Gimana hari ini di sekolah kalian?" tanyanya, mencoba memulai percakapan.

"Baik-baik aja, Tante. Tenang dan lancar," jawab Rizki sambil mengambil kerupuk yang ada di meja.

"Lancar kok, Ma," tambah Jeffran, dengan ekspresi santai.

"Ehem, gitu ya. Mama mau nanya, kalian udah ada pacar belum?" tanya Viona tiba-tiba, membuat suasana menjadi sedikit tegang.

Rizki pun tiba-tiba menyenggol Jeffran di sebelahnya sambil memakan kerupuk, mencoba memberikan kode agar Jeffran memiliki pacar.

Jeffran hanya tersenyum terpaksa dan menjawab, "Engga, Ma. Jeffran fokus belajar."

"Bagus, bagus, tapi kamu harus mengenal perempuan juga, Jef. Jangan fokus terus dengan buku," kata Viona dengan penuh perhatian, ingin memberikan nasihat kepada Jeffran agar tidak hanya terpaku pada pelajaran.

"Tuh, Jeff," sindir Rizki dengan senyum khasnya, mencoba menyemangati temannya dengan candaan ringan, sambil menunjukkan dukungannya terhadap nasihat ibu Jeffran.

"Iya, Ma, nanti juga ga usah dicari. Datang sendiri kok, Ma," ucap Jeffran dengan mantap, ingin menunjukkan bahwa dia percaya diri dalam menghadapi kehidupan.

"Iya, nak, Mama ngerti," jawab Viona dengan senyum hangat, merasakan kedekatan dan kepercayaan antara mereka, serta mengapresiasi kesungguhan Jeffran dalam menjalani kehidupannya.

Jeffran hanya bisa tersenyum, merasa bahwa orang yang paling penting di dunia baginya adalah ibunya, Viona, yang selalu memberikan dukungan dan cinta kepada dirinya.

Saat semua sudah beres, jam menunjukkan pukul 10. Jeffran pun bertanya kepada Rizki, "Ga pulang?"

"Nginep bor," jawab Rizki sambil tersenyum lebar, mengungkapkan rencananya untuk menginap di rumah Jeffran.

" yaudah boleh, tapi jangan ngigo, ya lo!" kata Jeffran sambil menaiki tangga menuju kamarnya, memberi izin kepada Rizki dengan syarat agar tidak membuat kegaduhan.

"Sorry, sorry, aja nih. Mentang-mentang dulu gua suka ngigo, tapi sekarang ga lagi, kok," ucap dalam hati Rizki, sambil berusaha mengikuti Jeffran ke kamarnya dengan penuh rasa hormat, ingin menunjukkan bahwa dia telah belajar dari kesalahannya.

Saat berada di kamar Jeffran, mereka memilih posisi tidur masing-masing dan berbaring, menatap langit-langit rumah. Bagi Jeffran, ini saat yang tepat untuk melakukan evaluasi diri.

"Jeff, menurut lo kita hidup ini untuk apa?" tanya Rizki sambil memeluk guling, mencoba mengajukan pertanyaan yang menuntut pemikiran mendalam kepada temannya yang sedang berusaha untuk memejamkan mata.

"Menurut gua sih, kita hidup untuk jadi baik," jawab Jeffran dengan suara yang tenang, membuka matanya untuk merespons pertanyaan tersebut.

"Iya sih, baik, tapi dunia jahat, semua nyet," ucap Rizki dengan nada skeptis, mencerminkan pandangannya yang sedikit pesimis terhadap dunia.

"Makanya itu, kalo dunia jahat, makanya kita harus baik," kata Jeffran dengan mantap, menjelaskan keyakinannya bahwa kebaikan adalah kekuatan yang mampu melawan kejahatan.

"Kalo udah baik, tapi masih aja di sepelekan?" tanya Rizki dengan rasa ingin tahu yang terdengar dalam suaranya.

"Lo artinya ga ikhlas berbuat baik," kata Jeffran sambil menatap Rizki yang hampir tertidur, menyampaikan pandangannya tentang pentingnya kesungguhan dalam berbuat baik.

"Gua i-khlas kok," kata Rizki dengan suara yang tenang, menegaskan keyakinannya akan kesungguhan dalam berbuat baik sebelum akhirnya ia tertidur pulas, menyirami ruangan dengan kedamaian.

"Hidup emang jahat bagi lo, nyet, tapi gua disini jadi temen lo, bahkan sahabat lo. Gua ngerti apa yang lo rasain," gumam hati Jeffran dalam keheningan, sambil menatap Rizki yang tertidur lelap di sampingnya, merasakan kehangatan persahabatan yang kuat di antara mereka.

Akhirnya, keduanya pun tidur dengan damai, ditemani oleh ketenangan malam.

Di tempat lain, Viorine sedang melakukan evaluasi diri dengan ibunya. Dia bertekad untuk tidak bertemu dengan laki-laki brengsek lagi.

"Ma, laki-laki brengsek itu kaya mana sih?" tanya Viorine sambil berbaring di pangkuan ibunya, mencari pemahaman yang mendalam tentang jenis laki-laki yang sebaiknya dihindari.

"Banyak bicara, dan itu semua bohong," jawab ibunya dengan lembut sambil melanjutkan untuk membelai rambut Viorine, memberikan nasihat yang bijaksana kepada putrinya.

Viorine memikirkan perkataan ibunya dengan serius. Jeffran tidak banyak bicara, dan ketika dia berbicara, dia tidak pernah berbohong. Tanpa basa-basi, langsung berkata apa adanya. Akhirnya, dengan pikiran yang tenang dan hati yang lega, Viorine pun tertidur di pangkuan ibunya, merasa aman dan dilindungi.

Setelah pagi berlalu dengan tenang, Jeffran sudah sibuk mempersiapkan dirinya dengan teliti, sementara Rizki masih terlelap dalam tidurnya yang nyenyak. "Woi, ga bangunin gua, lo?" kata Rizki dengan suara masih malas-malasan.

Dengan senyum simpul di wajahnya, Jeffran menjawab, "Lo tidur puas banget, ya? Kasian nih kalo gua yang bangunin."

Rizki yang baru saja bangun, langsung menatap sekeliling mencari sosok Jeffran, "Mana anduk lo?"

Tersenyum, Jeffran menjawab sambil merapikan rambutnya, "Itu nyangku."

Rizki pun bergerak perlahan menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap, sementara Jeffran turun ke lantai bawah untuk menikmati sarapan roti yang telah disiapkan dengan penuh kasih sayang oleh ibunya.

"Mana Rizki?" tanya Viona dengan lembut saat melihat Jeffran yang sudah duduk di meja makan.

"Lagi mandi, Mah," jawab Jeffran sambil mengunyah rotinya dengan lahap.

"Oh, begitu. Duduk,nak," kata Viona sambil tersenyum.

Jeffran menuruti perintah ibunya dan duduk di meja makan, menunggu kedatangan Rizki. Beberapa saat kemudian, Rizki turun dari kamar mandi dengan wajah yang masih terlihat mengantuk.

"Pagi, Tante," sapa Rizki dengan suara yang sedikit serak.

"Makan, nak?" tanya Viona sambil tersenyum pada Rizki.

Rizki mengangguk mengerti dan segera duduk di sebelah Jeffran untuk bergabung dalam sarapan pagi mereka. Setelah selesai makan, Rizki dan Jeffran bergegas menuju motor untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Setelah mereka menyapa ibu Jeffran dengan penuh cinta, Jeffran menawarkan dengan ramah, "Mau bareng, lo?" sambil berjalan ke arah motornya dengan langkahnya.

"Iya, kemarin gua naik Grab," jawab Rizki dengan santai, mencoba untuk menjelaskan.

Dengan sedikit kesal, Jeffran menimpali, "Nyusahin ya, lo."

Rizki, mencoba untuk memahami situasi, bertanya, "Iya, emang kenapa?"

Jeffran mengangguk sambil naik ke atas motor dan mengambil helmnya, lalu memberikan helm satunya kepada Rizki. Dengan cermat, mereka berdua memasang helm masing-masing sebelum menaiki motor.

"Buset, berapa kilo lo, nyet?" tanya Jeffran dengan nada penasaran saat menyalakan mesin motor.

Rizki menjawab dengan jujur, "60."

"Pantes," kata Jeffran sambil mengangguk mengerti. Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua meluncur ke sekolah dengan menggunakan motor yang di kendarai jeffran.

Setelah tiba di sekolah, semua orang memperhatikan mereka berdua seolah-olah mereka adalah saudara kandung. Tiba-tiba, Cahya memegang tangan Jeffran, menyebabkan Rizki terkejut saat melihatnya. "Ngapain, neng?" kata Rizki dengan sedikit kebingungan.

Jeffran dengan cepat melepaskan tangan Cahya. "Gausah pegang-pegang gua," ucapnya sambil memberi isyarat kepada Rizki bahwa sudah waktunya untuk pergi ke kelas. Mereka berdua pun berjalan menuju ke kelas, meninggalkan Cahya dengan kecewa.

"Sialan, gua ditolak lagi," batin Cahya, sambil berusaha menutupi wajahnya yang dipenuhi rasa malu, yang dilihat oleh sejumlah siswa yang berada di sekitar mereka.

Kisah untuk jeffran Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang