°° SHADOW (CHANHEE) BY _tintahitam11 °°

28 8 0
                                    

•••

"Gak ada yang berubah." Keenan berkomentar setelah puas menjelajahi setiap sudut ruangan. Ia tersenyum getir saat menangkap foto-foto yang terpajang di dinding. Itu foto kebersamaan Aresa bersama Zianna. Kadang ia bertanya-tanya apakah Aresa benar baik-baik saja selama dua bulan terakhir? Namun, melihat Aresa yang kembali bisa tertawa membuatnya sedikit lega.

Derap langkah kaki Aresa membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu membawakan segelas susu dilengkapi dengan beberapa camilan di atas nampan. "Gue ke kamar dulu bentar. Lo duduk aja disini."

Keenan mengangguk pelan. Menurutnya tingkah laku Aresa begitu aneh. Biasanya Aresa tidak akan pernah meninggalkan tamunya sendirian jika berkunjung. Meskipun itu ia sendiri. Namun kali ini.. ah ia jadi penasaran sendiri, diam-diam ia mengikuti Aresa. Pintu kamar yang tertutup menghalanginya untuk melihat apa yang dilakukan sang sahabat.

"Zi, aku mau sama kamu aja. Biarin Keenan sendirian."

"Kali ini aja. Aku mau meluk kamu."

Keenan tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang Aresa katakan. Zi? Apakah Zianna? Tidak mungkin, kan?

"Iyaa, aku temenin Keenan, kamu jangan kemana-mana, tunggu di sini. Udah jangan marah-marah lagi."

Keenan bergegas kembali ke tempat semula. Meneguk susu yang tadi Aresa siapkan untuknya dengan sekali teguk. Tatapannya kosong, masih berusaha mencerna yang barusan terjadi.

"Lo kenapa ngelamun?"

Teguran Aresa membuat Keenan tersentak. Ia menatap sang sahabat dengan wajah serius. "Tadi lo ngomong sama siapa?"

"Lo nguping?" tanya Aresa. Melihat Keenan terdiam ia tertawa. "Kek gak ada kerjaan aja lo, ah."

"Res, gue serius."

"Gue sama Zizi. Makanya gue kesel lo kesini."

Sontak jantung Keenan berpacu kencang saat mendengar nama Zizi. Itu panggilan yang biasa Aresa gunakan untuk Zianna. Tidak, tidak mungkin kan apa yang ia pikirkan mejadi kenyataan? Dengan pelan ia mengguncang bahu sang sahabat. "Res, sadar, Zianna udah gak ada," ujarnya lirih. "Dia udah meninggal, Res."

"Lo ngomong apa sih!!" Aresa menepis kasar tangan Keenan di pundaknya. Wajahnya memerah sarat akan emosi. "Zianna ada di dalam, lo hati-hati kalo ngomong!!"

Keenan tak kuasa menahan air matanya. Benar, sahabatnya itu terjebak dalam ilusi yang diciptakannya sendiri? Jadi ini alasannya Aresa tak terlihat bersedih dua bulan terakhir? Kepalanya berdenyut sakit saat pertanyaan-pertanyaan yang ia pendam mendapatkan jawabannya.

"Res, sadar! Zianna gak bakalan suka lihat lo gini! Dia udah tenang disana. Ikhlasin dia, Res!"

Tak tahan dengan ocehan Keenan, Aresa mencengkeram kerah baju sang sahabat. Melayangkan pukulan di wajah itu hingga Keenan terhempas di lantai dengan darah segar yang mengalir di sudut bibirnya.

"Pergi!!" Titahnya penuh amarah. Tak melihat pergerakan dari Keenan, Aresa memilih menyeret sahabatnya itu untuk keluar. Mendorong Keenan hingga si empu tersungkur di depan unitnya.

Lebaman pintu yang tertutup membuat Keenan mematung. Tubuhnya meluruh, akhirnya terduduk bersandar di pintu unit Aresa.

Sedangkan didalam, Aresa tampak seperti orang yang kehilangan arah. Berlari ke segala penjuru arah, dari ruang tamu, dapur, hingga kamarnya.

"Zi!! Zianna, kamu dimana?!!"

Teriakannya menggema di penjuru kamar. Tangannya meremas surainya yang memanjang, hingga jari-jarinya memutih. Ia benar-benar bisa gila lantaran tak menemukan Zianna di kamar. Netranya menelusuri ruangan bernuansa putih gading yang menjadi saksi kebersamaannya dengan gadis yang begitu ia cinta.

"Aresa!!"

"Res, jangan gangguin akuu."

"Res, ih, kamu kenapa suka banget sih bikin aku malu."

"Jangan peluk-peluk, nanti aku malu."

"Aresa, aku sayang sama kamu."

Kepingan memori kebersamaannya dengan Zianna berlomba-lomba berputar layaknya kaset rusak di benak Aresa.  Suara lembut serta rengekan Zianna, suara itu seolah-olah nyata ia dengar. Membuatnya selalu yakin Zianna berada disini. Namun tak terlihat.

Tangisnya pecah saat tak sengaja menangkap figuran foto Zianna dengan senyuman manis yang menghiasi wajah cantiknya, foto itu terletak di atas nakas.

Ruangan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya langkah kakinya menuju foto tersebut. Aresa terduduk di kursi yang berada tepat di depan cermin full body samping nakas. Ia raih figuran itu, memeluknya begitu erat, sarat akan kerinduan. Tubuh ringkihnya bergetar seirama dengan tangisan yang semakin terdengar menyesakkan.

"Sayang, pulang," ujarnya lemah, berbisik pada figuran di dalam pelukan. Dadanya sesak seperti dihimpit beban yang teramat berat.

Saat menatap cermin bisa ia tangkap tubuhnya yang semakin kurus, dan satu lagi, ada bekas luka memanjang di tangannya yang ia dapatkan di hari kepergian Zianna, disaat ia berusaha menyelamatkan Zianna yang melukai diri sendiri dengan sebilah belati. Aresa mengusap bekas luka yang sangat kentara itu dengan air mata yang masih setia mengalir di wajahnya. Mengapa dunia begitu kejam pada orang sebaik Zianna. Mengapa orang-orang membenci Zianna? Hingga gadisnya memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Luka itu mampu membuatnya kembali sadar bahwa kini Zianna hanyalah bayangan. Bahwa dunia yang ia tempati dua bulan terakhir hanyalah ilusi yang ia ciptakan. Sesak, sakit, yang ia rasakan. Sungguh Aresa ingin berteriak mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan, mengatakan bahwa ia teramat merindukan gadisnya.

Lihatlah betapa menyedihkan dirinya di cermin itu. Bahkan benda itu terasa seolah-olah menertawakannya bahwa ia lemah, meskipun itu kenyataannya. Tak tahan merasa sesak di dada, Aresa melayangkan kepalan tangannya hingga cermin itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil.

Kursi yang tadi ia duduki kini ia lempar sembarang arah hingga menciptakan suara yang memekakkan.

Tubuhnya benar-benar terasa lemah, sampai-sampai tak mampu berdiri, hingga meluruh ke lantai. Terduduk bersandar di pinggiran ranjang sembari memeluk foto Zianna. Membiarkan cairan merah yang berasal dari tangannya mengenai wajah cantik di figuran itu.

"Zi, aku rindu kamu. Pulang sayang."

Netranya kembali berembun. Menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Kali ini benar-benar menangis meraung-raung, berharap sesak di dadanya perlahan menghilang.

••• Ternyata benar, ldr yang paling menyakitkan itu bukanlah beda kota, bukan pula beda negara, maupun beda agama, melainkan beda dunia. •••

By : _tintahitam11

THE MEMORIES || THE BOYZ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang