57. Record

3.4K 651 321
                                    

Keputusan yang Jisoo ambil terkait pengobatannya bukanlah hal mudah. Gadis itu terus bertarung dengan egonya. Hingga berakhir kalah.

Dua bulan lagi pertarungannya akan dimulai. Pertarungan meredakan penyakitnya. Maupun pertarungan untuk meninggalkan Lisa di tanah Korea.

Jujur saja, sampai detik ini Jisoo masih merasa sangat takut. Apakah keputusannya ini benar? Apakah Lisa juga bisa berjuang dan menunggunya pulang?

Jisoo bukan peramal. Dia tidak bisa menebak jalan hidup mereka. Tapi yang harus ia tekankan, jika dia mau pun Lisa akan kuat menjalaninya.

Malam ini, kamarnya masih sangat terang walaupun jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia sama sekali tak mengantuk dan sedang tertawa kecil melihat beberapa foto dan video dari kamera milik Lisa.

Setelah makan malam, Jisoo memang meminjam kamera Lisa yang ada di kamar Chaeyoung untuk melihat beberapa foto mereka ketika pergi ke beberapa tempat tempo hari.

Saat sampai pada penghujung foto di kamera itu, Jisoo mendadak terpikirkan akan sesuatu. Bagaimana jika dia menyampaikan sedikit kalimat untuk Lisa yang tidak bisa ia ungkapkan sekarang?

Jisoo tidak tahu mengapa ide itu muncul. Padahal seharusnya ia bisa mengatakan saja secara langsung pada Lisa. Tapi dirinya terlalu malu untuk itu.

Mulai menekan tombol record, Jisoo meletakkan kamera itu di atas meja nakas. Membuat dirinya terekam hingga sebatas dada.

Pertama-tama, Jisoo terkekeh geli. Dia merasa hal ini sungguh konyol. Lisa juga pasti akan tertawa ketika melihat video iseng Jisoo ini.

"Hallo, Lisa-ya. Ini Jisoo Unnie." Jisoo mulai menggigit bibir bawahnya berusaha untuk tidak tertawa.

"Malam ini aku tidak bisa tidur dan bingung harus melakukan apa. Jadi jangan menertawakanku ketika melihat ini, eoh?"

Jika tahu ia tak bisa tidur, Jisoo seharusnya menetap di kamar Chaeyoung dan tidur bersama adiknya dibandingkan harus melakukan hal konyol seperti ini.

"Juga aku meminta padamu, untuk hanya menonton ini sendirian. Jangan bertahu yang lain karena aku sangat malu." Jisoo yakin jika saat ini wajahnya tengah memerah.

"Lisa-ya..." Memanggil nama adiknya, raut wajah Jisoo mulai berubah.

Dia berusaha mengatur napasnya. Perasaan itu berbanding terbalik saat ia baru memulai merekam. Saat ini, seperti ada sebuah api yang membakar dadanya.

"Malam ini aku belum melihatmu. Dan rasanya aku sudah sangat rindu." Jisoo ingin sekali menertawakan dirinya sendiri.

Membayangkan dua bulan lagi dia akan pergi jauh dari Lisa, membuat hatinya bergemuruh. Tidak melihat Lisa selama beberapa jam saja sudah merasa rindu. Apalagi beberapa bulan?

"Kau baik-baik saja kan? Kau tidak merasa sakit lagi kan? Appa melarang kami masuk ke kamarmu karena kau sedang beristirahat. Menyebalkan sekali Lee Minki itu." Jisoo mendengus kesal.

Ketika semuanya selesai melakukan makan malam, Minki bilang untuk jangan mengganggu Lisa malam ini karena adik mereka sedang istirahat. Memangnya apa yang akan dilakukan oleh mereka selain melihat Lisa?

"Tapi tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku akan melihatmu besok pagi sembari mengembalikan kamera ini." Jisoo mulai berusaha tersenyum.

Sejenak, dia terdiam. Gadis itu bukan orang yang banyak bicara. Tapi isi kepalanya sangat penuh sekarang. Ia ingin sekali mengungkapkan seluruhnya pada sang adik tersayang.

"Lisa-ya, terima kasih sudah menjadi pahlawanku." Pandangan Jisoo mulai memburam karena air mata yang menggegang.

Mengingat kilas balik pertemuannya dengan Lisa dari awal, membuat Jisoo sadar. Lisa adalah sosok yang hadir seakan menjelma sebagai pahlawan.

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang