61. Gate

2.8K 615 130
                                    

"Lisa-ya, satu kali saja apakah kau pernah merasa kecewa dengan takdirmu sendiri?"

Malam itu, Jisoo dan Lisa sedang menikmati teh hangat bersama di halaman belakang rumah. Menunggu Jennie serta Chaeyoung pulang setelah kegiatan kampus mereka.

"Untuk apa aku harus merasa seperti itu?" Lisa terkekeh. Seakan pertanyaan Jisoo adalah candaan.

"Geunyang..."

"Tidak ada yang ingin aku lakukan, selain merasa bersyukur." Tapi dengan cepat Lisa menjawab.

Lisa paham apa yang ada dipikiran Jisoo. Semua orang disekitarnya pasti selalu memandangnya penuh kasihan karena sejak lahir memiliki banyak sekali kesialan.

Tapi pola pikir Lisa nyatanya berbeda. Ia masih bisa duduk di samping Jisoo, adalah sebuah keberuntungan yang amat besar.

"Unnie ingat saat aku begitu marah mendapatimu hendak bunuh diri ketika itu?" Lisa kembali mengenang pertemuan pertama mereka yang dipenuhi oleh drama.

Jisoo menggulum bibirnya. Dia mendadak merasa malu karena ketahuan hendak membuang hidupnya dengan percuma. Jika dipikir lagi, saat itu dia benar-benar seperti pecundang.

"Sesungguhnya aku sangat membenci orang yang melakukan itu." Jisoo bisa melihat ada kilat kecewa di mata adiknya.

"Semua orang memiliki kesusahannya sendiri. Aku pun yakin, masih ada banyak orang yang keadaannya jauh di bawahku. Tapi aku tak bisa membenarkan jika jalan tetakhir mereka adalah kematian." Lisa ini jarang sekali bicara. Tapi ketika mulai berbicara panjang lebar, Lisa akan selalu membahas hal dalam seperti ini.

"Karena hidup itu adalah sebuah anugrah yang patut kita syukuri, Unnie. Dan hal-hal buruk yang menimpa kita itu bukanlah sebuah kesialan, melainkan ujian untuk kita agar bisa mendapatkan nilai terbaik di mata Tuhan." Katakan, bagaimana Jisoo tidak selalu mengagumi adiknya ini?

Lisa adalah yang termuda di keluarga mereka. Tapi pemikiran gadis itu bahkan melampaui orang tua mereka. Wajar saja jika dia bisa sukses di usianya kan?

"Di masa depan, kau tidak boleh mengulanginya lagi eoh?" Jisoo bisa mengingat dengan jelas, tatapan Lisa berubah sangat lembut padanya.

"Jika terlalu sulit, kau bisa menggenggam tanganku. Seperti ini, arraseo?" Tangan Lisa terasa dingin ketika menggenggam tangannya. Tapi Jisoo sangat menyukainya. Dia bahkan tak akan rela untuk melepaskannya.

"Dengan genggaman ini, aku akan mengantarkan Unnie pada gerbang ketenangan dan kebahagiaan. Dimana kau tidak akan lagi merasa ketakutan."

Kenangan itu mulai memudar. Kedua matanya berusaha dengan keras terbuka saat merasa sulit sekali bernapas.

"Eoh, Jennie Unnie! Dia sadar!" Bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka, Jisoo bisa melihat wajah Chaeyoung walau samar.

Dia mengerjab. Berusaha mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Sampai ketika penglihatannya benar-benar baik, kedua mata Jisoo bergetar melihat sebuah plaster terpasang di bagian dagu milik adik blondenya.

Dengan tangan gemetar, Jisoo berusaha menyentuh Luka itu. Selama berada di keluarga Lee, tak pernah sekali pun Jisoo melihat Chaeyoung terluka. Dan ketika melihatnya, ia merasa hatinya memanas.

"K-Kau terluka?"

Chaeyoung meringis.
"Hanya kecelakaan kecil, Unnie."

Padahal jika saja Jennie tidak sigap membanting stir, mungkin bukan hanya dagunya yang terluka. Atau lebih parahnya lagi, mungkin ia dan Jennie tak akan ada disini.

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang