"Jadi kau hanya duduk di sini?"
Namjoon menolehkan kepalanya, tersenyum mendapati Seokjin kini duduk di sampingnya. Mungkin sudah berapa—30 menit? Satu jam? Atau dua jam atau lebih? Namjoon tidak ingat, tapi rasanya memang ia sudah cukup lama duduk karena dirinya baru menyadari jika punggungnya sekarang merasa pegal.
"Darimana, Seokjin?"
"Aku tadi lewat, itu dua jam yang lalu, dan sekarang aku sudah selesai kelas, kau masih di sini. Kau sangat suka duduk sendirian seperti ini, ya Namjoon?"
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan—" setengah bohong, dan setengahnya lagi—Namjoon tidak tahu. Dirinya memang tidak tahu apa yang harus ia lakukan, karena selama ini, yang Namjoon lakukan hanyalah mengikuti keinginan kedua orang tuanya, maka itu benar, Namjoon tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Dan ia tidak ingin pulang, belum.
"Sudah makan?"
"Sudah... sepertinya."
"Ck, pasti belum. Nanti kalua pingsan dan masuk rumah sakit bagaimana?" Namjoon memerhatikan Seokjin yang kini merogoh saku tasnya, matanya menatap pada Namjoon sementara tangannya sibuk mencari. "Nih, makan dulu, mengganjal perut."
Tangannya mengulurkan sebungkus jeli berisi tiga yang berbentuk seperti cacing—atau ulat? Namjoon hanya diam menatap. "Namjoon, makan."
"Jeli kesukaanmu? Kau yakin aku boleh memakannya?"
"Tentu, aku tidak ingin kau mati."
Kekehan kecil terdengar dari mulut Namjoon. Tangannya menerima jeli penyelamat hidupnya dari Seokjin. Menyobeknya dengan diam lalu memakannya dengan bibir yang tidak bisa berhenti tersenyum. Beberapa hari ini, semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya terasa hambar, makanan-makanan mewah itu dibumbui dengan ucapan-ucapan orang tua Namjoon yang membuat makanan menjadi hambar. Sama sekali tidak membuat Namjoon berselera.
Dan kini, kita jeli cacing Seokjin adalah makanan terenak yang Namjoon makan.
"Kalau sudah selesai makan, aku akan menemanimu makan."
"Seokjin perhatian sekali, terima kasih."
"Tapi kau yang bayar makanan, ganti rugi jeliku."
"Aku akan menraktirmu sampai semester 20."
"Kau pikir aku akan lulus selama itu?!"
Namjoon tertawa saat Seokjin dengan gemas memukul lengannya. Dirinya bahkan terus tertawa saat Seokjin terus membabi-buta memukulnya dan melontarkan puluhan caci maki pada tugas-tugasnya yang bisa saja menghambat Seokjin untuk lulus dengan cepat.
"Aku sepertinya akan begadang, tugasku terlalu banyak. Bisa-bisa aku tidak tidur semalaman."
Namjoon hanya tersenyum, menyerahkan satu jelinya pada Seokjin dan diterima baik oleh lelaki itu. Memakan sisa terakhir jeli yang beberapa menit yang lalu ia berikan pada Namjoon. Mendengar ucapan Seokjin, Namjoon Kembali mengingat harinya, sudah berapa lama ia begadang atau lebih tepatnya, kapan terakhir kali Namjoon tidur dengan nyenyak?
"Ayo Namjoon, aku lapar."
"Ayo."
"Kau tidak berniat duduk selama tiga jam, 'kan?"
"Tentu tidak, 'kan sudah ada kau, aku akan duduk denganmu selama 5 jam."
"Namjoon!"
Keduanya sudah meninggalkan bangku besi yang berada di taman kecil pemisah antara dua bangunan. Seokjin kembali berceloteh tentang kantung matanya yang kian menebal, tentang profesornya yang menyebalkan, dan banyak hal. Di sampingnya, Namjoon diam mendengarkan, tangan kirinya mengangkat dari bawah tas ransel dalam gendongan Seokjin. Mengangkat hingga tas itu tidak membebani Seokjin, ia terus melakukannya tanpa lelah hingga mereka berhenti di depan kedai yang tidak jauh dari universitas. Baginya, itu tidak seberapa, mengurangi sedikit beban pundak Seokjin adalah sesuatu yang selalu ingin Namjoon lakukan. Karena sosok yang kini tengah membaca menu itu selalu menghapus setiap rasa lelah Namjoon tiap kali mereka bertemu.

KAMU SEDANG MEMBACA
All Night, is You
FanfictionJadi, apa pilihanmu, Gubernur Kim? Namjinkook mpreg Rated : M