hehe >.<
.
.
Jika seseorang bertanya, apakah bertemu dengan Seokjin adalah sebuah kesalahan? Maka Namjoon akan berteriak dengan kencang "Tidak, sama sekali tidak. Bahkan jika ia kembali hidup, ia berharap tetap mengenal Seokjin. Tapi dengan sesuatu yang lebih romantis dan realistis."
Seokjin, Namjoon sudah mengamati pria itu sejak lama, gerak-geriknya, tawanya, tingkah lucunya, candaan konyolnya, bahkan ia hafal Seokjin sering sekali mengedipkan mata tanpa sadar. Menatap Seokjin seolah ia dapat membayangkan dirinya berada dalam posisi seperti Seokjin.
Seseorang yang dapat tertawa lepas tanpa beban.
Namjoon sering mendapat pujian, Namjoon sering mendapat ucapan manis, Namjoon sering mendengar bagaimana orang lain iri—ingin menjadi seperti dirinya. Tentu, tentu jika kau hanya melihat dengan sekedipan mata, kehidupan Namjoon sangat sempurna. Kedua orang tuanya adalah jajaran orang penting dalam pemerintahan, wajah Namjoon tampan, ia tinggi, otaknya bahkan diatas rata-rata. Namjoon begitu sempurna semenjak lahir.
"Bolehkah kita bertukar hidup?" itu adalah pertanyaan terpendam Namjoon pada teman-temannya.
Ia bahkan tak pernah merasakan bagaimana serunya bermain game online bersama teman hingga malam, ia tak pernah merasakan bagaimana serunya mendapati dirimu terkena lemparan telur dan tepung, Namjoon tak pernah merasakan omelan ibunya jika ia hujan-hujanan. Hidupnya tertata dengan rapi.
Namjoon bahkan tak dapat mendapat kesempatan untuk merasakan cinta dengan bebas.
"Namjoon?"
"Ah ya?" Serin tersenyum mendekat pada Namjoon yang sedari tadi hanya berdiri diam diatas balkon kamar mereka.
"Sedang apa?"
"Hanya diam." Namjoon mencoba tersenyum lalu kembali menatap pada halaman rumahnya.
Serin mendekatkan diri pada Namjoon, membuat lengan mereka saling menempel. "Kau sekarang banyak diam Namjoon."
"Aku hanya sedikit lelah."
Serin tersenyum mengangguk. "Yeah, jangan terlalu lelah. Tapi jangan terlalu santai, ingat tujuan kita—membawamu menuju gedung biru. Bisa kau bayangkan Namjoon kita tinggal disana? Dirimu dan diriku menjadi orang nomor satu di Korea?"
Namjoon menahan nafasnya sejenak lalu mengangguk. "Aku mengingatnya."
"Namjoon-ah, aku ingin membicarakan tentang anak." Namjoon menolehkan kepala dengan pelan. "Bagaimana, kau ingin memiliki anak sebelum kampanye atau nanti saja saat kau terpilih menjadi presiden? Satu tahun lagi akan diadakan kampanye, apa tidak repot kalau punya anak sekarang?"
"Ya, mungkin setelah kampanye kita baru membicarakannya lagi? Sebenarnya itu pilihanmu, sebelum atau sesudah kita berada di gedung biru pun kita akan tetap sibuk. Aku bahkan tak yakin dapat mengurus bayi jika kita memiliki posisi itu."
Namjoon sedikit menggeser badannya agar dapat menatap Serin dengan jelas. "Itu pilihanmu."
"Benar juga. Kalau aku menginginkannya sekarang—mau kau memberinya Namjoon?"
Namjoon menundukan kepala lalu kembali menatap halaman rumahnya. "Itu akan lebih mudah, akupun tidak akan mengganggu masa kampanye dan setelah kita terpilih, tentu aku juga dapat membantumu." Serin kembali berbicara. "Bagaimana Namjoon?"
Sekali lagi—Namjoon tak dapat memilih.
Sedari kecil ia seolah tak pernah diajarkan untuk mengucap kata TIDAK atau setidaknya memberikan pendapatnya—atau, memperjuangkan keinginannya. "Kau harus menuruti Serin Namjoon-ah, dia kunci kita. Petinggi Lee tentunya sangat menyukaimu, lihat sekarang, partaimu semakin besar. Kau menduduki kursi ini, selangkah lagi Namjoon, selangkah lagi, dan kita akan mewujudkan impian kita. Iyakan sayang?" Namjoon tak dapat menghilangkan apa perkataan Ibunya ketika ia menikah dengan Serin.

KAMU SEDANG MEMBACA
All Night, is You
FanfictionJadi, apa pilihanmu, Gubernur Kim? Namjinkook mpreg Rated : M