Setelah Dua Tahun

737 70 11
                                    

"Kau memang yang paling keras kepala Zalwa!" Cecar Arun.

Remaja berusia 20 tahun itu menatap jengah sang adik yang hanya berdiri menatap nanar kolam renang, tanpa mau melihat wajah Kakak keenamnya.

Arun maju selangkah lebih dekat padanya. "Ini peringatan terakhir untukmu!"

"Berhati-hatilah!" Tekan Arun di akhir kalimatnya dan lantas pergi meninggalkan adik bungsunya itu.

Namun kelihatannya Zalwa tidak mengindahkan kalimat sang Kakak.

Lagi, aku dibuat menghela napas oleh perdebatan dua bungsu di halaman belakang sana. Tak hanya aku yang dibuat bertanya tentang si bungsu Arsakha itu, tapi juga Ravendra, Ishan, Altan, Al dan Arun pun dibuat bertanya-tanya.

Dia bukan lagi seorang pangeran ketujuh dengan mata hangatnya, dia Zalwa seorang remaja 19 tahun dengan sorot mata tanpa rasa pedulinya.

Aku memperhatikan lama tubuh yang memunggungiku itu dari balik pintu kaca besar penyekat antara rumah dan halaman belakang.

Andaikan Ayahanda tidak melarang anak-anaknya untuk menggunakan segala kekuatan yang kami miliki, mungkin pertanyaan ini tak akan menghantui pikiranku :

"Zalwa apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

***

"Alleooooo,"

"Aaaaaalll..."

Selamat datang di pagi yang penuh kejutan ini.

Aku dan Ishan tercenung menyaksikan betapa histerisnya para gadis di luar sana ketika seorang pemuda berusia 22 tahun yang mengenakan jaket kulit itu memarkirkan motor sportnya.

Ya, aku akui siapa yang tidak tergila-gila melihat ketampanan seorang mahasiswa fakultas Geologi semester akhir itu. Postur tubuh tinggi berotot, rahang yang tegas, rambut merah kehitaman, kulit putih, pintar, senyum manis, lemah lembut dan tidak sombong, siapa yang tidak ingin menjadi masa depannya?

Kupikir hanya wanita yang memiliki iman kuat yang dapat lolos dari jeratan karisma seorang Aleo.

"Sepertinya kalian kalah populer," Ishan lantas tersenyum di balik kemudi.

Aku mengangguk. "Kau benar, Kak. Ketiga adikmu ini memang tak seberuntung Al dalam hal wanita," Aku menoleh kebelakang, menatap bergantian kedua adik bungsu kami yang duduk berjarak. Masing-masing dari mereka membuang wajahnya menatap keluar jendela.

Zalwa membuka pintu dan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada kami.

Arun menghela napas. Dia benar-benar tampak jemu dengan sikap adiknya itu.

"Aku duluan, Kak," ucapnya lantas keluar dari dalam mobil.

"Apa mereka bertengkar lagi?"

Aku mengangguk. "Tadi, sebelum kita berangkat,"

Ishan menggelengkan kepala pelan. "Anak-anak itu, awasi mereka, eoh?"

"Akan aku usahakan. Kalau begitu aku duluan, terima kasih untuk tumpangannya," aku keluar dari dalam mobil sedan berwarna putih itu.

Pagi yang mendung. Tampaknya pagi ini akan turun hujan.

Ah? Apa Zalwa membawa payung?

Aku jalan sambil memperhatikan punggung remaja berambut hijau itu yang semakin terlihat jauh.

Astaga... kenapa tiba-tiba aku mengkhawatirkannya?

Seharusnya aku tak perlu khawatir, Zalwa sudah bisa menjaga dirinya sendiri. Dia bukan lagi anak kecil berusia 14 tahun yang kutemui pertama kali di kerajaan.

MYSTERY OF THE ACAPALATI [PANGERAN KELIMA 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang