Di luar hujan. Dan petang ini aku di buat termangu berlama-lama di depan laptop.
Ini sudah minggu ke empat aku menjadi pembimbing penelitian beberapa mahasiswa angkatan pertama, lima dari enam proposal penelitian mahasiswa sudah aku setujui, hanya tinggal satu. Anak itu baru memberikan final proposalnya tadi siang.
Zalwa sempat menghampiriku yang baru saja sampai di rumah dari kegiatan di kampus, hanya untuk memberikan sebuah flasdisk. Dia bilang proposal yang sempat tertunda sudah dia selesaikan. Adik bungsuku itu tampak senang ketika aku memujinya dengan kalimat "Kerja bagus, Zalwa,"
Iya, aku mendengar tawa ringan dan wajah bahagia yang sempat hilang beberapa tahun itu. Akan tetapi, rupanya senangnya tak menular padaku.
Semakin jauh aku membaca isi proposalnya, semakin aku tidak yakin untuk mensetujui penelitiannya.
Crystal blood.
Aku menyandarkan tubuh ke punggunggung kursi. Demi apa pun hari ini aku dibuat lelah oleh perasaan dan pikiranku sendiri.
Ceklek!
Al masuk dan menghampiri saudara kembarnya ini, dia meletakkan segekas mug berisi kopi susu di atas meja belajarku.
Dia mencondongkan tubuhnya membaca seluruh kalimat yang tertera di layar laptop. Keningnya mengerut samar ketika dia mulai mendapatkan kesimpulan dari apa yang dia baca, bibirnya tersenyum tipis setelah menghela napas pelan. Kupikir dia sudah tahu permasalahan yang sedang aku hadapi.
"Jangan gegabah, El. Calm down, okey?" Dia menepuk-nepuk kedua pundakku sebelum kembali duduk di tempat tidur.
"Aku tidak akan bisa tidur, Al," aku mengusap wajah kasar.
"Baguslah, dengan begitu kau tidak akan bermimpi buruk lagi,"
Aku memutar kursi belajar. Kutatap Al yang sudah sibuk dengan ponselnya itu.
"Aku serius! Aku tidak akan mensetujui penelitian Zalwa!"
Al mendongak. Dia menatapku diam agak lama. Tatapan matanya seolah menuntut penjelasanku.
"Seperti yang kau bilang. Aku tidak boleh gegabah,"
***
Matahari sempurna tenggelam di kaki cakrawala. Aku menatap sepiring nasi dan ayam goreng tanpa selera, di tengah-tengan keenam saudaraku yang begitu menikmati makan malam kali ini.
Aku mendongak menatap Zalwa yang tampak lahab dan menikmani menu makan malam yang Ishan dan Kak Altan buat dan tak lama dari itu menghela napas kecil.
Aku teringat percakapanku dengan Al satu jam yang lalu. Dia begitu bijak membantu adiknya ini yang dalam keadaan penuh kebimbangan. Ketika dia mendengar keputusanku yang memilih untuk tidak mensetujui penelitian Zalwa, Al menyarankan aku agar memecahkan inti permasalahan yang mebuatku ragu.
Dia menyuruhku untuk datang bertanya pada Ishan dan Kak Altan, menurutnya mereka berdua adalah orang yang tepat untuk aku ajak berdiskusi.
Dan saat itu juga aku datang menemui mereka di kamarnya, ah bukan kamar, ruangan bernuansa putih dan kayu itu lebih tepat di sebut perpustakaan. Karena dua dinding di kamar ini terpajang rak-rak besar yang berisi ratusan buku, mungkin ribuan jika di hitung dengan buku-buku yang di simpan di atas meja kerja mereka masing-masing.
Ishan dan Kak Altan melihatku heran ketika adik berambut merah mudanya ini masuk tanpa permisi dan berdiri di depan salah satu rak buku mereka.
"Kau mencari buku apa?" Tanya Ishan yang sedang duduk di kursi kerjanya. Dia memutar kursinya ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTERY OF THE ACAPALATI [PANGERAN KELIMA 2]
FantasyKehidupannya tak lagi menyandang gelar sebagai Pangeran Kelima. Ellio kembali berbaur dengan hirup pikuk Ibu Kota. Meski tak ada lagi tuntutan sebagai seorang Pangeran, Ellio tak menampik jika dia tak bisa lari dari perannya sebagai kesatria Acapala...