"Siapa sebenarnya yang ingin kau selamatkan?"
Dua manik mata yang tak lepas membalas tatapku itu tak hentinya menangis. Zalwa terus terisak tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaanku.
Akan tetapi, alih-alih menjawab dengan suara, dua manik matanya bak menarikku pada sebuah kejadian yang memperlihatkan seorang laki-laki berjas putih sedang memandangi wajah pasiennya.
"Hei, kau tidur nyenyak?" Dia tersenyum pada si rambut merah muda yang masih enggan bangun dari tidur panjangnya.
Kak Altan menoleh pada sebuah kalender, dan untuk yang kedua kalinya lekuk sabit itu terukir di bibirnya saat tahu itu adalah hari ke 365 aku koma.
"Sudah setahun, El. Kapan kau akan bangun?" Katanya sambil mengelus kepalaku.
"Kuharap kau cepat bangun. Kau harus tahu kalau aku sudah menjadi dokter sekarang,"
"Aku berangkat,"
Di tengah cuaca pagi yang tidak seterik kemarin, Altan membawa khawatirnya keluar rumah.
Rasa khawatir itu sudah seperti makanan sehari-hari. Bahkan kelima saudara laki-lakinya termasuk Zalwa merasakan perubahan sikap Altan yang lebih sering berdiam diri.
"Kak,"
"Mm?"
Zalwa menatap lama-lama wajah datar tanpa ekspresi itu.
"Masih belum, ya?" Tanya anak laki-laki berseragam putih biru itu.
Altan menggeleng. Dia membenarkan jika kondisiku yang masih jauh dari kata baik.
Zalwa tertunduk sebentar dan menghela napas pelan.
"Masih ada hari esok, kita pasti kembali bertujuh," dia mendongak sambil tersenyum yakin menatap Altan.
Yang ditatap hanya bisa mengangguk kecil bersama senyuman tipis, tanpa berani meninggalkan suara janji.
Butuh waktu sekitar lima belas menit bagi Altan sampai di gedung sekolah si bungsu. Remaja berambut kuning itu melambaikan tangannya pada sang kakak sebelum benar-benar menghilang di balik gerbang sekolahnya.
Sudah menjadi rutinitas baru bagi Altan untuk mengantarkan Zalwa ke sekolah, jarak sekolah dan rumah sakit tempatnya bekerja yang tak begitu jauh menjadi alasan utama pencetus usulan itu.
Sampai di UGD, seorang suster menghampirinya. Altan mendapat kabar, jika ada seorang pasien laki-laki yang tak sadarkan diri dengan luka memar di kening, kemungkinan dia mengalami pendarahan di dalam.
Altan tak membuang waktu, dia cepat menemui pasien barunya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih 19 tahun, mengenakan kaos putih dan celana jeas biru terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.
Perhatiannya 100 persen tersita saat pertama kali dia melihat wajah pucat laki-laki itu.
Benar apa yang di katakan suster, ada luka memar di keningnya. Namun anehnya, luka itu tidak tampak seperti luka memar biasanya, luka itu lebih terlihat seperti garis urat berwarna blue green membentuk akar. Bahkan bukan hanya di kening, Altan pun melihat luka memar itu menjalar di seluruh tangan hingga jemarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTERY OF THE ACAPALATI [PANGERAN KELIMA 2]
FantasíaKehidupannya tak lagi menyandang gelar sebagai Pangeran Kelima. Ellio kembali berbaur dengan hirup pikuk Ibu Kota. Meski tak ada lagi tuntutan sebagai seorang Pangeran, Ellio tak menampik jika dia tak bisa lari dari perannya sebagai kesatria Acapala...