Garis Akar

312 56 25
                                    

Clek!

Pangeran ketujuh itu masih terjaga membersihkan sepihan-serpihan kaca di lantai kamarnya. Tak ada Arun kulihat di sana. Lagi-lagi aku melihat dia seorang diri saat membuka pintu kamarnya.

"Akh!" Zalwa meringis pelan saat ujung jari telunjuknya tertusuk serpihan kaca.

Aku menghela napas pelan. Dan...

"Kembali!" Pikirku.

Seketika serpihan-serpihan kaca itu melayang dan kembali menjadi bentuk semula. Cermin, vas bunga dan kaca jendela, semua rapi kembali seperti sedia kala.

Aku menghampirinya yang tertegun. Dia tahu aku yang melakukannya. Tapi dia belum berani berhadapan dengan Kakak kelimanya ini.

"Ceroboh!" Kataku yang berjongkok mengikutinya lantas mengambil jari telunjuk Zalwa yang terluka.

Hanya dengan satu kali usapan dari energi merah mudaku, luka tusuk itu hilang dan sembuh.

"Mana Arun?" Aku menatapnya yang belum berani menatapku.

"Di kamar Kak Ravendra, aku yang menyuruhnya tidur di sana?"

"Lalu bagaimana denganmu? Kau akan tidur sendirian lagi?"

Zalwa mengangguk. "Untuk malam ini,"

"Aku tidak akan membiarkannya!"

"Ah?" Kepala Zalwa terangkat perlahan.

"Malam ini aku tidak akan membiarkanmu tidur sendiri,"

"Tak apa, kembalilah ke kamarmu, aku takut tidur bersama megalodon sepertimu,"

Sontak aku menundukan kepala sambil tertawa ringan.

Aku berdiri mengikuti Zalwa yang sudah berdiri.

"Masih sakit?" Aku mengusap sebelah pipinya yang kutampar tadi.

Dia mengangguk. "Tapi bukan di situ, di sini," ucap Zalwa pelan nyaris berbisik.

Diluar dugaan, Zalwa memegang dadanya. Rupanya sikapku barusan lebih menyakiti perasaanya. Maaf Zalwa.

Aku menatapnya lamat-lamat dan menghela napas, lantas kutarik anak itu ke dalam pelukan.

"Maaf,"

"Hiks, hiks, hiks..." tangis Zalwa pecah saat bisik permintaan maafku terdengar di telinganya.

"Dengar, aku melakukan itu karena aku tidak rela dan tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebut kalian dariku!"

"Hiks... hiks..."

"Maaf, aku sudah berbuat kasar padamu, Zalwa, maaf," ucapku lirih.

Pelukku berbalas. Kedua tangannya melingkar tak kalah memelukku erat.

***

"Kau baik-baik saja Tuan muda?"

Aku melirik sekilas Ariel yang sedari tadi berjalan sejajar di sebelahku.

"Seperti yang kau lihat, kurasa nyawaku hilang setengahnya," kataku yang berjalan lesu.

Ariel tertawa ringan. "Kau hanya butuh menenangkan diri. Aku tahu, permasalahmu ini cukup besar. Aku ikut prihatin Tuan, tapi jangan terlalu sering kau pikirkan, itu akan mempengaruhi suasana hatimu, kau akan semakin dibelenggu marah juga kecewa yang berkepanjangan, apa kau tidak takut kekuatan Arkamaya di dalam tubuhmu menjadi bumerang untuk dirimu sendiri?"

Aku menghela napas panjang.

Ariel benar, aku harus menjaga emosi. Jika tidak kekuatan Arkamaya akan mencengkram tubuhku hingga terasa sakit bagai terikat kuat oleh tali.

MYSTERY OF THE ACAPALATI [PANGERAN KELIMA 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang