Dia Kembali

182 40 14
                                    

"Jika kau benar-benar mengkhawatirkannya, masuklah. Temui adikmu. Tapi ingat, jangan menyentuhnya sama sekali, jika kau ingin kerajaanmu selamat!"

Tiiiiiiiittttt...

"Ah?" Ishan menoleh ke arah pintu ruang rawat di sebelahnya, lantas cepat-cepat masuk ke ruangan tempat Geges di rawat.

"Astaga!" Ishan terkejut ketika menemukan garis di layar monitor menunjukan garis lurus.

Dibantu Kak Altan yang berada di sana, dia melakukan defibrilasi untuk mengembalikan detak jantung normal pasiennya. Namun sayang, setelah empat kali melakukan kejut jantung tak kami lihat perubahan dari garis lurus di layar monitor.

Ishan pun tertunduk, dia tampak pasrah dengan hasilnya. Bahkan saat menoleh padaku dan Kenzio yang berdiri di ambang pintu, Ishan menggeleng.

"Ah?" Mataku melebar.

Dia pergi?

No way!

"Geges," ucapku pelan nyaris berbisik.

"GEISHA!" Dengan langkah cepat Kenzio mendekati kasur tempat adiknya terbaring.

Wajah pucat itu tampak tenang meninggalkan seseorang yang tak pernah ada untuk menangisinya selama ini. Tapi rupanya air mata yang tak pernah ada itu kini sudah membanjiri kedua pipi Kenzio. Bahkan tangisnya semakin pecah ketika garis-garis akar perlahan muncul di seluruh wajah, tangan dan kaki sang adik.

Aku menggeleng pelan tidak mempercayai apa yang baru saja aku lihat. Munculnya garis akar itu menandakan sudah tak ada lagi cairan energi blue green dalam tubuh Geges, yang artinya Geges benar-benar pergi.

"INI MUSTAHIL!"

"DIA TIDAK MUNGKIN MATI! KAU PASTI SALAH! CEPAT LAKUKAN SESUATU PADANYA!!!" Kenzio mencengkram kerah jas dokter Ishan kuat-kuat. Dia begitu emosional malam ini.

"Maaf Ken, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kau lihat sendiri, garis akar itu sudah muncul di seluruh tubuhnya. Relakan dia, eoh?"

"Tidak dokter, tolong... hiks... tolong selamatkan dia... tolong..." tubuh Kenzio merosot, kakinya bak hilang tenaga tak bisa lagi menopang tubuhnya.

"Hiks... hiks...hiks..." isak tangisnya semakin mendominasi ruangan ini. Rasa kehilangan dan penyesalan terhadap sang adik begitu membelenggu perasaannya.

Begitu pun aku. Penyesalan itu ada. Andaikan aku tidak meninggalkannya pergi saat itu, atau jika saja aku datang lebih cepat untuk menolongnya, mungkin sedih ini tidak akan pernah terjadi.

Puk!

Aku menoleh ke samping ketika Ravendra menepuk sebelah pundakku. Kulihat dia menggeleng, melarang adiknya ini untuk menyalahkan dirinya sendiri lagi.

"Kurasa masih ada satu cara untuk menyelamatkannya,"

Sontak semua menoleh pada seseorang yang berdiri paling belakang di ambang pintu.

Zalwa masuk mendekati Kak Altan yang masih berdiri di pinggir kasur.

"Benar kah?" Kenzio berdiri bahkan senyumannya mekar kala melihat anggukan kepala Zalwa.

"Tolong lakukan apa pun, aku akan mengabulkan semua keinginanmu, jika benar kau bisa menyelamatkannya," Ken menggenggam kedua tangan Zalwa. Dia benar-benar berharap besar.

Zalwa tersenyum tanpa memberi tanggapan akan penawaran yang Ken janjikan padanya. Kini perhatian Zalwa tertuju pada Kakak ketiganya. Si rambut ungu. Iya, Kak Altan.

"Semua tergantung padamu," katanya.

Keningku mengerut samar memperhatikan segala hal yang si bungsu lakukan.

MYSTERY OF THE ACAPALATI [PANGERAN KELIMA 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang