𝐏𝐞𝐭𝐫𝐢𝐜𝐡𝐨𝐫𝐞

160 18 17
                                    

Detik jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 7 tepat di hari Jum'at pagi yang dingin, padahal seharusnya bulan Juli masih termasuk musim kemarau. Hujan semalam di Kota Bandung tak pula membuat Bintang Diratama Pradipta lantas memelihara rasa malasnya. Konsisten menjadi seorang 'morning person' adalah prinsip. Lihat, pria berusia 27 tahun itu bahkan kini sudah berpakaian rapi sembari sibuk membawa seperangkat alat kerja dari dalam mobil yang baru diparkir-yaitu laptop beserta seluruh isi tasnya untuk mengerjakan desain gambar yang sudah tenggat.

"Gimana persiapan weekend?" tanya Bintang seraya memasuki pintu kaca sebuah bangunan café berkonsep eco green dengan papan nama kayu estetik bertuliskan 'Petrichore' di salah satu dindingnya. Lonceng kecil berwarna emas di ujung atas pintu masuk terdengar berdenting.

"Aman. Semua udah beres, Pak," jawab Dimas-seorang Waiter yang sedang sibuk melakukan cleaning area.

Bintang mengangguk seraya duduk di spot favoritnya. Sebuah meja persegi disertai sepasang kursi di pojok ruangan samping meja bar. Seorang Barista bernama Radit sibuk menyusun gelas-gelas yang baru saja dilapnya hingga mengilap.

Bintang menghela napas sejenak. Ia menatap ke sekeliling café yang sudah membersamainya beberapa bulan belakangan, kiranya sebelum wabah virus covid melanda dunia.

Pekerjaan utama Bintang sebenarnya sebagai arsitek di perusahaan sang kakek-ayah dari mama. Hobinya pada kuliner membuat ia ingin sekali menggeluti bisnis ini, yang kini terwujud dari hasil membujuk sang kakek dan mama dengan syarat ia tetap menjalani pekerjaan utamanya sesuai dengan gelar yang didapatnya dari kampus. Jujur, Bintang sama sekali tidak terpaksa, dirinya juga senang berada di bidang itu. Di sisi lain, memang hanya dirinyalah yang paling memahami sistem operasional kerja di perusahaan tersebut untuk meneruskan apabila suatu hari memang sudah gilirannya.

Petrichore, kesenangannya pada hujan membuat ia memilih nama itu. Bangunan café ini dibeli dari hasil uang tabungan sepulangnya dari proyek pembangunan di Kalimantan. Kemampuan Bintang cukup dikenali oleh dosen-dosen sehingga ia tidak sulit dalam mendapatkan proyek. Kesenangannya akan desain ditularkan dari sang kakek yang juga sama-sama berasal dari Fakultas Teknik Arsitektur.

Konsep eco green dengan landscape garden mendominasi isi bangunan baik indoor maupun outdoor. Ia memaksimalkan bangunan satu setengah lantai itu dengan tanaman-tanaman hijau dan bunga-bunga yang cantik. Sesungguhnya Bintang terlalu repot untuk mengurus semua sendiri, beruntung ia mengenal seseorang yang ahli dalam merawat taman kecil impian hasil kerja kerasnya ini. Juna pemilik toko bunga Concordia yang berada di sebelah café Petrichore siap dihubungi kapan saja apabila Bintang butuh bantuan.

"Pagi, Pak Bos!" seru seorang wanita berambut hitam sebahu dengan ceria. Langkahnya menuju meja kasir sembari melepas jaket yang dikenakan kemudian diganti dengan apron hijau botol seragam khas dengan bordir tulisan Petrichore berwarna emas.

"Parah banget, Ayu. Masa lebih pagi Pak Bos daripada kamu." Dimas mengompori, sementara Radit cekikikan keluar dari bar area menuju Bintang sembari membawa secangkir coffee latte yang dihidangkan di atas meja sang atasan.

Kedua mata Bintang menyipit, antara menatap cangkir minumannya kemudian beralih menatap Radit yang memberikan senyum lebar nan jahil khas-nya. "Latte art lope-lope (love-love) buat Pak Bos. Biar kerjanya makin semangat dan penuh cinta," ujar Radit dengan love sign tangan di dada.

Ayu bergidik geli. "Naha, sih?" (Kenapa, sih?)

Bintang tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi, "Kamu nggak minta naik gaji, kan, Dit?" candanya diselipi kecurigaan tak berdasar.

The Magic Shop | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang