Sekian detik mengingat wanita aneh itu melambai dengan senyum lebar membuat Bintang bergidik ngeri di ranjangnya. Memang banyak konsumen aneh, tapi sosok yang baru diantarnya barusan benar-benar di luar nalar baginya.
Unik.
Tidak.
Tidak boleh menyamakan siapa pun. Siapa yang di benaknya unik saat ini kalau bukan Jeje.
"Jeje diantar Gabriel barusan. Apa sudah sampai?" gumam Bintang. Sejak kapan ia repot-repot memikirkan orang lain seperti ini? Sebuah bentuk perhatian yang tidak perlu. Bukankah Gabriel sudah cukup?
Tanpa sadar Bintang sedikit merengut. "Hei?" serunya pelan dengan kening mengernyit. "Apa masalahmu, Bintang? Kau benar-benar menyukainya dalam waktu sesingkat-singkatnya?" Mendadak teks proklamasi melintas di benak Bintang sekilas.
"Yang benar saja. Kau bahkan belum selesai dengan dirimu sendiri." Mendadak Bintang berbalik tengkurap. Menarik bantal di atas kepala kemudian menutup kepalanya dengan sedikit tekanan. "Jatuh cinta hanya membuat repot. Mengurus diri sendiri dan keluarga saja sudah banyak dramanya."
Ia bangkit. Memilih melangkah ke kamar mandi dan bersiap mengguyur seluruh badannya dengan shower air hangat.
Mengingat mama dan Nana masih bolak-balik ke rumah sakit, membuat Bintang merasa kasihan. Tapi tak ada jalan lain karena kakak dari mama jauh di luar kota dan hanya bisa menitipkan uang sebagai bagian dari tanggung jawab mengurus sang kakek. Di sisi lain Bintang tahu, sebenarnya itu alibi saja karena mereka tak mau repot. Memang keluarganya sekacau itu. Keluarga mama seperti itu, dan sang papa yang egois.
Bagus.
Apa yang bisa dipetiknya dari sebuah pohon keluarga yang teramat kering ini? Tidak satupun mau menyirami agar setidaknya salah satu ranting bisa kuat menopang barangkali pucuk daunnya saja.
Tidak bisa tampaknya. Memang sudah kering dari ujung akar. Sudah mati.
Bintang mengusak rambutnya yang basah dengan handuk. Berdiri di sudut ruangan di mana cermin berukuran setinggi badannya. Kaos longgar dengan celana pendek yang nyaman. Ia menggantungkan handuk pada tempatnya kemudian mencari kacamata.
Kamarnya sedikit berantakan. Seharusnya ia beberes dulu sebentar sebelum mandi.
"Tak apa, Bintang. Setiap hari hidupmu juga sudah berantakan. Jadi sudah terbiasa bukan?" ucapnya diakhiri senyuman getir.
Setelah menemukan kacamata, ia mengenakannya seraya meraih laptop dan membukanya. Tak lupa dengan jendela kamar yang tak lupa dibuka lebar-lebar untuk mendapatkan angin sekaligus mengeringkan rambutnya tanpa repot-repot pinjam hairdryer Nana.
"Oke, kita selesaikan beberapa detail gambar untuk proyek lain," gumam Bintang menyalakan benda kesayangannya. Laptop adalah jantung bagi Bintang. Jika data hilang tanpa backup, maka tamatlah riwayatnya.
'Ting!'
Jeje : [Kak, lagi apa?]
Baru juga ia menata suasana hatinya untuk bekerja, sekarang harus berantakan lagi dengan perasaan tak karuan.
Bintang membuka fitur kamera kemudian mengirimkan Jeje foto pekerjaannya di laptop.
Bintang : [Lagi kerja, nih.]
Jeje : [Udah malem masih aja kerja. Sakit, lho ntar.]
Bintang menaikkan sudut bibirnya tanpa sadar. "Oh, ayolaaah! Aku cuma pengen kerja dengan tenang!" Bintang mengusak kembali rambutnya hingga berantakan.
Bintang : [Ya udah. Kapan-kapan main lagi. Supaya tidak kerja terus.]
"Balasan apa itu?" Bintang melotot setelah menatap layar ponselnya menandakan bahwa Jeje sudah membaca pesannya, ditandai dengan keterangan bahwa Jeje sedang mengetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Magic Shop | Part of Purple Universe Project
RomancePurple Universe Project | BTS Jhope Part . Bintang, seorang Sarjana Arsitektur yang bekerja di sebuah perusahaan properti milik keluarga. Kesukaannya pada hidangan penutup yang manis-setelah berguru pada pengalaman hobi berkuliner dan rajin mengikut...