𝐓𝐚𝐰𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐋𝐮𝐤𝐚

28 8 11
                                    

Sore tadi Bandung hujan, kini Bintang dalam perjalanan pulang dari kantor kakek menuju rumah sakit. Remang lampu jalanan disertai embun sisa air langit membuat dirinya sesekali berdecak kecil karena kesulitan menyetir di kegelapan malam.

Dari arah Asia Afrika menuju Jalan Pasteur, mobil SUV berwarna putih itu terus melaju menembus jalanan yang becek. Udaranya cukup sejuk hingga menarik minatnya untuk menurunkan kaca sedikit saat berhenti di lampu merah Dago bawah antara persimpangan Jalan Diponegoro dan Jalan Sulanjana. Ia juga sedikit termenung mengosongkan pikiran sejenak saat memerhatikan musisi jalanan di depan sana, seorang anak remaja yang memainkan lagu dengan alat musik ukulele ala kadarnya.

Sesuai keinginan mama, kemarin Bintang tidur di rumah. Namun seperti biasa, Senin di pagi hari adalah jadwalnya mengunjungi Petrichore untuk evaluasi seusai weekend, kemudian sorenya ia buru-buru pergi setelah mendapat telepon dari Nana bahwa sang kakek dilarikan ke RSUP.

Sebelum ke rumah sakit, Bintang terlebih dahulu mampir ke kantor untuk menyimpan draft gambar yang telah dicetak untuk konsultasi dengan klien penting besok, ia juga meminta bagian Sipil untuk membantunya melakukan pengecekan ulang agar dapat berdiskusi via chat saja karena tak sempat meeting.

Sekian detik menikmati suasana di sana membuat Bintang tersadar bahwa ia baru saja diklakson. Sudut matanya melirik sekilas ke arah lampu lalu lintas yang kini berubah hijau. Ia cepat-cepat mengambil alih stir dan kembali melaju. Di lampu merah depan dekat fly over Pasupati ia memilih belok ke kiri dan sedikit lebih cepat untuk melewati lampu merah Tamansari yang juga sedang berwarna hijau.

"Hah, untung aja keburu," gumam Bintang setelah berhasil naik ke fly over dan mengambil jalur bawah untuk sampai ke rumah sakit. Namun di depan sana, ia juga harus menghadapi dua lampu merah lainnya dengan penuh kesabaran. Untungnya ini hari Senin, jalanan tidak akan semacet saat weekend.

"Halo? Di mana?" tanya Nana melalui telepon.

"Ya ini dikit lagi sampe, Na," jawab Bintang setelah nada dering berhenti. Ia melirik jam di dashboard, waktu menunjukkan pukul tujuh.

Terdengar desah kecewa dari sang adik. "Yahh ... lewat mana?"

"Tadi naik fly over dikit. Terus lewat bawah, ini satu lampu merah lagi. Kenapa, sih?"

"Kirain lewat Cihampelas," gerutu Nana, seolah-olah keputusan sang kakak untuk buru-buru ke rumah sakit adalah suatu kesalahan.

"Ya, kenapa aku harus lewat sana?" tanya Bintang aneh. Perempuan memang tidak pernah to the point, dipikirnya ia cenayang atau apa? Setidaknya itu yang ada di benak Bintang, tetapi ia memilih untuk menunggu hingga Nana menjawab.

"Mau nitip surabi." Terdengar nada tawa dari sana. Bintang sedikit tenang, berarti kondisi kakek tidak terlalu parah. Menurut informasi yang di dapatnya, sang kakek tiba-tiba sulit bernapas. Widjaya Diratama adalah seorang arsitek ternama di bidang lingkup kerjanya. Ia cukup dikenali akan keahliannya dalam membuat desain bangunan, hal tersebut membuat Bintang cukup mengagumi sosok sang kakek sejak ia kecil.

Kakek keren!

Itulah kalimat yang selalu Bintang kecil ucapkan dulu. Ia dan Nana cukup dekat, sampai akhirnya setelah Nenek meninggal baru-baru ini saat wabah covid membuat mereka menjadi jarang berkumpul. Biasanya Nenek yang selalu memaksa agar kedua cucunya ini masak-masak dan makan bersama di rumah saat weekend.

"Duh, si Nana bener-bener. Aku tunggu di lobi, deh, keluar aja kalau mau surabi," tawar Bintang. "Biar aku nggak usah parkir dulu."

"Nggak usah, Bang! Sebagai adek yang baik aku nggak mau ngerepotin. Entar lagi aja," jawab Nana sok bijak padahal ia ingin sekali makan surabi telur mayonnaise pedas hangat-hangat, kemudian ditutup oleh surabi durian yang manis. Ah, rasanya sudah berada di tenggorokan.

The Magic Shop | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang