𝐏𝐚𝐡𝐢𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐢𝐬

18 4 16
                                    

Tiga hari berlalu dan kini hari ke empat sang kakek dirawat di rumah sakit. Kantung mata Bintang nampak menghitam. Sesekali ia berganti jaga dengan mama dan Nana di sana, terutama saat berjaga di malam hari. Beberapa kali kondisi kakek juga tidak stabil hingga kejang-kejang.

Ditambah lagi setelah evaluasi Petrichore, wajahnya tampak lebih kusut—membuat para karyawan pun sedikitnya segan untuk mendekati atau sekadar bercanda menggodainya seperti biasa.

Ting!

Nana Bawel : [Kak, Bowie sakit kayanya. Dia nggak mau makan. Acu tau kamu capek, biar acu aja yang bawa ke dokter hewan. Just info. Thanks to me.]

You : [Thanks, Na. Ke dokter yang biasanya aja. Nanti aku yang transfer.]

Nana Bawel : [Oke, Kak. Istirahat aja. Nanti acu ke dokter beres kelas yah.]

You : [Oke, kabarin.]

Bintang menutup kolom pesan dan memasukkan ponselnya ke kantong celana sebelum kembali berkutat pada berkas-berkas di meja. Laporan evaluasi bulanan bisnis 'kecil'nya ini tampak sedang kurang baik. Ia menghela napas berat tanpa rasa semangat. Bintang cukup sibuk bolak-balik ke kantor kakek mengurus ketertinggalan. Sekarang apa? Bowie, anjing jantan dengan ras pomeranian berbulu putih kesayangannya itu kini juga sakit.

Ia duduk di pojok lantai dua café—tempat favorit Bintang saat perlu merenung dan menyendiri. Semua karyawan tahu kebiasaannya. Jika Bintang sudah berada di sana, itu artinya ia sedang ada banyak hal yang dipikirkan.

"Silakan, Bang. Menyantap sea salt coffee sore-sore gini enak banget. Apalagi sambil melihat jalanan yang ada di depan, pasti membuat riuh yang ada di benak kita sedikit berangsur hilang," ucap Gabriel sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja di hadapan Bintang. Meskipun sedikit bingung dengan ucapan Gabriel, namun Bintang menghargainya dengan menyesap ujung cangkir sedikit. Hangat. Bintang sangat suka varian kopi ini.

Gabriel—seorang singer freelancer yang baru saja beberapa waktu lalu bergabung dengan Petrichore untuk mengisi panggung live music. Wajahnya tampak ragu-ragu. Entah apa yang ingin diutarakannya namun Bintang cukup penasaran dan menunggu sembari sesekali melihat ke luar jendela.

"Lagi banyak pikiran ya, Bang?" Bintang menoleh dengan penuh tanya. Apakah ketara sekali? Gabriel melanjutkan, "Kelihatan dari wajah Bang Bintang."

"Saya bingung." Itulah kata pertama yang ia ucapkan—pun jelas dari nada bicaranya.

"Bingung? Karena apa, Bang?" Setelah itu terdengar Gabriel sejenak terdiam, namun kemudian ia tampak sedang mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan, "Ah, maaf saya lancang. Maksud say—"

Sebelum Gabriel berkata lebih jauh, Bintang menyela, "Pendapatan Petrichore menurun. Saya bingung. Apa saya harus melakukan terobosan baru? Tetapi di sisi lain saya juga tidak punya ide-ide menarik yang bisa membawa konsumen untuk berdatangan ke café ini." Bintang kembali menyesap kopi dengan pikiran berantakan bagaikan benang kusut. Permasalahannya terlalu kompleks untuk diceritakan, bukan hanya tentang Petrichore, melainkan juga permasalahan keluarganya.

Bintang mendapati sosok Gabriel menautkan kedua jarinya dengan raut bingung. "Ah, Bang. Saya punya saran, tapi saya takut jika saran ini tidak sesuai dengan kriteria Bang Bintang." Kembali ada jeda pada kalimatnya, ia menatap telunjuknya yang masih bertaut. Bintang mencoba berpikir cepat, ada baiknya jika ia mempertimbangkan ucapan Gabriel dan menunggu. Jika idenya bagus, mungkin bisa dicoba. "Kebetulan saya punya resep Mille Crepes, barangkali bisa jadi menu tambahan yang mungkin bisa menarik konsumen agar lebih tertarik untuk datang dan menikmati beberapa bahkan semua menu yang kita sajikan."

The Magic Shop | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang