𝐀𝐤𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮

27 5 8
                                    

Di antara banyaknya bintang, ia lebih memilih untuk menjadi Lerna. Eksistensi bintang yang tergolong redup di semesta itu benar adanya.

Ia tidak berlomba untuk mengalahkan terangnya bintang Sirius di konstelasi. Namun segala jenis tekadnya bisa lebih besar dari Matahari di galaksinya.

Wajibkah ia menaruh perhatian sedikit saja dari ketidakpeduliannya akan rotasi kehidupan yang tidak adil nan semu ini?

Menembus kehidupan rasanya bagaikan mencoba terbang ke langit menembus Atmosfer selapis demi selapis.

Troposfer

Stratosfer

Mesosfer

Termosfer

Kemudian berlabuh mencapai lapisan teratas Eksosfer dalam jarak 3.260 kilometer dari Bumi tempatnya berpijak.

Namun, ia mendapati satu hal yang menarik di galaksinya hari ini.

"Gabriel, Ranu, kemudian ... Jeje." Bintang mengingat bagaimana ia sedikit merasakan adanya perasaan yang berbeda akhir-akhir ini.

Pertama, kehadiran Gabriel di cafe untuk menjadi penyanyi freelance.

Kedua, kehadiran Ranu sebagai musisi pendamping—yang mana beberapa waktu lalu Gabriel kenalkan untuk menemaninya di panggung setelah proyek mille crepes disetujui oleh Bintang itu sendiri.

Keduanya sangat membantu Bintang dalam produksi dan promosi launching menu baru Petrichore. Syukurnya ide tersebut diterima baik oleh konsumen penikmat makanan manis dan gemas itu.

Satu hal, mille crepes mengingatkannya akan insiden charger di cafe beberapa waktu lalu.

Tidak biasanya Bintang lupa dan teledor. Sudah jelas segala jenis pekerjaannya ada di dalam laptop bagaimana bisa ia lupa membawa benda pengisi daya itu?

Charger di dalam pouch kelinci itu menjadi penyelamatnya. Perempuan itu membuatnya merasa berhutang budi hari itu, padahal ini hanya tentang charger. Notabenenya memang Bintang sedikit sulit menerima fakta bahwa ia tidak cukup teliti, dan strawberry mille crepes itu adalah takdirnya hari itu untuk bertemu Jeje.

"Cantik."

Bintang melirik ke luar jendela kamarnya, mendapati satu bintang gemerlap dari gelapnya langit malam.

"Hush! Ngomong apa aku."

Bintang melangkah ke pintu balkon dari ranjangnya yang nyaman. Sekilas menatap bintang itu lagi beberapa detik sebelum menutup tirai. Kamar dengan nuansa interior white-dark grey itu selalu menjadi tempat favoritnya di rumah. Sejenak ia ingin rebah diri di sana. Kasurnya yang empuk dan hangat.

Redup lampu kamar membuatnya menatap pajangan globe kaca di rak, benda itu bisa mengeluarkan bunyi nyaring seperti music box. Salah satu benda favorit Bintang yang didapatnya dari seseorang—dan kepergiannya masih belum bisa ia terima sampai hari ini.

Sosoknya mirip Jeje, tapi ia tahu ini sangat tidak etis menaruh perhatian pada seseorang hanya karena setiap sisi siluetnya teramat mirip.

Bintang tidak sedang jatuh cinta hari ini.

Tidak.

Ia bersumpah sejak menembus lapisan teratas Atmosfer rasanya ia sudah tak ingin terjun dan berurusan lagi dengan berbagai makhluk Bumi. Lalu ia dan keluarganya ini apa kini? Alien?

'Hi, gimana kabarnya? Udah lama banget kita nggak ketemu.'

Satu pertanyaan itu hampir membuat Bintang dan dunianya runtuh. Itulah kenapa ia tak ingin menghadiri acara reuni. Livina Aziza sang mantan yang kini sibuk bekerja di Prancis nyatanya hadir. Bukan ia tak bisa move on, tapi ia Livina yang menjadi pacar pertama sepanjang hidupnya ini membuat Bintang merasa bersalah hingga hari ini.

The Magic Shop | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang