9. Aku Seorang Pemberani

5 1 0
                                    

Tidak lama sejak pertemuan aku dengan Anin, sekolah yang awalnya menjadi tempat untuk belajar dan saling berbagi tentang pengetahuan yang dimiliki tiba-tiba menjadi ajang berbagi rumor buruk mengenai Anin. Rumor buruk tentangnya terus berdatangan, dari satu mulut menyebar ke mulut lainnya, tidak tau siapa yang pertama menyebarkannya dan siapa yang menjadi pendengar terakhir dari rumor tersebut. Aku penasaran, mengapa mereka bisa seantusias ini membicarakan keburukan orang lain, padahal mereka tidak memiliki bukti, entah apa yang membuat mereka langsung percaya. Yang aku tau, Anin jauh berbeda dari apa yang akhir-akhir ini dibicarakan. Karena sudah muak mendengar seluruh rumor itu, akhirnya aku memutuskan untuk langsung bertanya pada Anin dan mencari beberapa bukti. Untuk saat ini, aku tidak ingin berpihak pada siapa pun. Namun, jujur saja rumor yang bermunculan itu cukup membuatku bimbang, apakah perasaanku pada Anin benar-benar nyata atau hanya rasa penasaran belaka, aku takut suatu saat kepercayaan dan rasa sukaku pada Anin memudar.

Di sela-sela waktuku di sekolah, kucoba untuk mengumpulkan informasi dan bertanya pada orang-orang yang mengenal Anin, hingga sampai pada sekelompok orang yang menjadi penyebab munculnya rumor ini.

Sepulang sekolah aku coba mampir sebentar ke kelas Anin, untuk menanyakan beberapa hal yang sempat memenuhi isi kepalaku. Saat itu hampir seluruh kelas sudah tidak ada penghuni, aku meminta Arya untuk menemaniku ke kelas Anin, setidaknya kehadiran Arya di sana dapat sedikit menurunkan rasa canggung, dan menurutku ia merupakan orang yang dapat dipercaya.

Beberapa kelas telah kami lewati, sampailah kami di kelas Anin. Anehnya, kelas satu ini berbeda dengan kelas lainnya, sangat berisik. Apa sedang ada kerja kelompok? Untuk memastikan, aku mencoba mengintip lewat jendela. Sialnya, aku melihat beberapa orang di sana sedang merundung Anin.

Tanpa basa-basi aku membuka pintu kelas tersebut. Semua pandangan yang awalnya fokus berebut untuk menyiksa Anin sekarang beralih padaku. Satu persatu kutatap matanya, sorot matanya yang begitu sinis membuatku ingin segera membalas mereka, tidak, lebih tepatnya ingin segera lari, jujur saja aku juga seorang penakut. Tapi aku akan selalu menyembunyikan rasa takut itu untuk orang-orang yang aku sayangi.

"Ngapain?" tanyaku singkat.
Pertanyaan yang kuajukan pada mereka bertujuan untuk memastikan, apakah mereka masih bisa mengelak atau membuat alasan tidak masuk akal ketika mengetahui ada saksi atas perbuatan busuk yang mereka lakukan. Jawaban itu akan kujadikan pertimbangan, apa perundungan ini hanya akan kulaporkan pada guru BK ataukah harus aku sebarkan juga video perundungan yang mereka lakukan.

"Dih? Lo masuk kelas orang lain, bisa lebih sopan gak? Gak tau tata krama ya lo?"

"Tau. Tapi saya cuma mau menghormati dan menghargai orang yang memang benar-benar tau bagaimana cara memperlakukan orang dengan baik."

"Jadi menurut lo kita gak pantes buat dihormatin?"

"Pikir aja sendiri, memangnya perlakuan kalian ke cewek di pojok sana seperti memperlakukan manusia dengan layak? Atau malah sebaliknya?"

"Oh si Anin. Dia emang pantas dapat perlakuan kayak gini, sih. Bahkan bisa lebih buruk lagi. Lo siapanya Anin? Pahlawan kesiangan, ya?"

Seketika suasana kelas yang awalnya serius dipenuhi dengan suara tawa orang-orang itu. Jujur saja, aku paling tidak suka ketika hal yang harusnya serius malah dijadikan bahan candaan.

"Kalau mau bercanda tau tempat, saya cuma mau kalian jawab serius, akuin perbuatan kalian ke guru dan teman-teman yang lain, minta maaf sama Anin, rumor palsu yang kalian buat berdampak besar untuk dia, dampak negatif."

"Lah lo siapa nyuruh-nyuruh? Mau pulang dari sini babak belur?"

"Kalau gitu lepasin Anin. Udah sore, biarin dia pulang."

"Awas lo kalau laporin kita ke guru. Lo bakal bernasib sama kayak dia."

"Yaudah buruan lepasin."

"Tuh benalu, pahlawan kesiangan mau ngajak pulang bareng."

Segera aku membawa Anin untuk menjauhi kelasnya, saat itu kaki Anin sedang luka, jadi aku membawanya ke ruang UKS, untung saja masih ada guru. Aku langsung berlari menyusul Arya ke ruang BK dan menjelaskan tentang kejadian yang aku lihat tadi
sembari memperlihatkan videonya. Lega rasanya karena dapat membantu teman masa kecilku yang berubah status menjadi orang yang aku suka menyelesaikan masalah yang dihadapi.

"Dika, kenapa tadi gak langsung baku hantam aja, sih? Biar lebih seru," ucap Arya dengan ekspresi sedikit kecewa. Aku tau, sebenarnya kau sedang meledekku karena tak bisa bela diri.

"Ya gimana, aku aja gak bisa bela diri. Eh untung aja tadi kita kepikiran buat videoin diem-diem, kalau nggak gitu, bisa aja guru gak percaya tentang kejadian yang kita laporin."

"Ucapin makasih dulu dong, kan aku yang bantu videoin dari jendela. Jangan lupa traktirannya."

"Dihh, aku juga bantu, ya. Ini kalau tadi lidahku meleset terus keburu ngatain balik itu tukang bully, bisa-bisa mukaku habis ditonjok."

"Hahahaha. Ayo lah langsung pulang aja, tadi orang tua Anin udah dihubungi kok, biar dia langsung dijemput."

Aku kira, kami bisa bernafas dengan tenang setelah melewati waktu yang melelahkan. Namun, perkiraanku salah, ada satu masalah lagi.

KENANGAN DALAM KATA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang