7. Senyuman

11 1 0
                                    

KRINGG KRINGG..

"Bangun!" ucapku sembari memukul tangan Arya.

"Duh, Dika. Kenapa sih? Masih ngantuk nih."

"Ngantuk mulu, noh liat udah jam berapa, mau di sekolah sampai malam? Ini sudah waktunya pulang."

"Oh, hehe maaf, semalam aku begadang. Menunggu ayah pulang."

"Ayahmu sudah pulang?"

"Hmm, kepulangan ayahku ditunda, 5 hari lagi. Katanya ada kesalahan di tempat kerja yang harus segera diperbaiki."

"Yasudah, nanti malam mau main ke rumahku dulu?"

"Boleh, terima kasih, ya."

Saat itu seluruh koridor terlihat cukup gelap lantaran langit sudah menunjukkan tanda akan datang hujan. Kami sadar tidak membawa payung, akhirnya kami memutuskan untuk berlari ke rumah tanpa pelindung. Namun, langkahku terhenti ketika melihat orang yang kusukai.

"Arya! Liat deh, ada Anin, jodohku."

"Mau nyapa? Buruan gih, tapi jangan lama-lama."

"Ini di wajahku ada yang aneh gak?"

"Dari dulu juga mukamu udah aneh."

"Ssttt, yang bener."

"Kagak ada, lagian setiap ketemu nanya gitu mulu, udah sana samperin."

Aku memberanikan diri untuk menyapa. Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, aku terpeleset tepat di depan Anin. Sangat tidak sesuai dengan rencana, memang benar aku berhasil membuat kesan tak terlupakan untuk Anin, namun bukan kesan yang baik, malah sebaliknya, aku mempermalukan diriku sendiri di depannya.

"Halo, Anin. Tenang aja, saya gapapa kok. Duluan, ya," ucapku yang kemudian langsung berlari menjauhinya.

"Dika! Woy! Kok saya ditinggal?" Teriak Arya.

Aku baru menyadari hal penting yang seharusnya segera kusampaikan, malah aku lupakan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke tempat tadi.

Aku tidak ingin Anin melihat wajahku memerah ketika mengucapkan kalimat ini, sehingga aku mengucapkannya sambil berlari dan dengan suara yang cukup keras.

"Anin! Kamu selalu tampil keren. Kalau ada orang yang gak suka kamu, biarin aja. Ada saya yang suka kamu."
Sekilas aku melihat Anin tersenyum, senyum yang sudah lama aku rindukan, yang hanya tertuju padaku.

"Dika! Lain kali kalau ngomong yang bener, tatap orangnya, bukan malah tatapan sama tembok," ucap Arya sembari mengeraskan suaranya agar terdengar olehku. "Hehe Anin maaf ya, maklumin aja, bukan temen saya. Saya permisi pulang duluan, ya," sambung Arya yang juga langsung berlari menyusulku.

Aku berhenti tepat di depan gerbang sekolah, begitu pun Arya yang langsung menepuk pundakku.

"Kok ninggalin?" tanya Arya yang masih ngos-ngosan karena lelah mengejarku.

"Hehe maaf, reflek," jawabku.

"Kebiasaan, eh tapi tumben tadi kita ngomong pakai saya-kamu bukan aku-kamu."

"Gapapa, biar keliatan berwibawa dikit di depan Anin. Udah yuk langsung pulang."

Kami berlari melewati setiap genangan air, setapak demi setapak tanpa alas kaki, sembari menenteng kantung plastik berisi sepatu di dalamnya, juga satu tangan yang digunakan untuk melindungi kepala dari rintik hujan.

Hujan baru berhenti pukul 8 malam. Saat itu penerangan di rumahku sudah mulai redup. Kubuka jendela kamarku untuk menjadikan cahaya bintang dan bulan sebagai penerangan. Kebetulan kamarku di lantai atas, sangat menyenangkan melihat jalanan dari atas sini. Aku mulai membuka buku harian milikku, dan menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat yang secara tidak langsung menjadi saksi akan kehidupanku. Seperti biasa, Arya mulai membaca novel kesukaannya lalu memberikan pertanyaan yang selalu membuatku kepikiran.

"Dika!"

"Apaan?"

"Jawab jujur, ya. Hal apa yang paling kamu inginkan dan hal apa yang paling bikin kamu takut terjadi di hidup kamu?"

"Kamu ingat waktu guru BK tanya tentang 3 orang yang paling disayangi dalam hidup? Di situ aku jawab keluarga, sahabat, dan orang yang aku suka. Hal yang paling kuinginkan adalah terus bersama dengan orang yang aku sayangi, karena bayang-bayang saat ibuku meninggal masih terus muncul di benakku, itu cukup membuatku trauma hingga terkadang sulit mengendalikan emosiku sendiri. Dan hal yang paling aku takutkan terjadi adalah ketika aku sedang berusaha mencapai cita-cita atau hal yang sedari dulu kuinginkan, tiba-tiba saja ditinggal oleh orang yang kusayangi."

"Kalau tiba-tiba ada hal yang membuat kamu tidak bisa menggapai impianmu sedari dulu, kamu gapapa?"

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tanyaku kebingungan.

"Gapapa sih, penasaran aja. Udah jam segini, ibuku pasti menunggu di rumah. Aku pamit pulang, ya."

Pertanyaan yang akhir-akhir ini dilontarkan oleh Arya cukup membuatku bingung, entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga terus bertanya tentang hal yang cukup serius. Akhir-akhir ini kepalaku cukup dibuat penat oleh tugas sekolah dan beberapa masalah yang terjadi di kelas, sepertinya angin pusat kota sangat cocok mendengarkan seluruh isi hatiku. Mengingat betapa indahnya masa-masa keliling kota bersama ibu dan ayah, aku dan ayah yang selalu asyik menikmati angin malam sembari bernyanyi, sedangkan ibu terus khawatir aku kedinginan karena saat itu aku tidak suka memakai jaket. Kami selalu membeli berbagai makanan hangat, namun entah mengapa makanan itu selalu kalah dengan kehangatan keluargaku. Tanpa sadar senyum terukir di wajahku ketika mengingat kenangan indah itu, disusul dengan air mata yang mulai menetes. Tenang saja, meskipun aku sempat menganggap kepergian ibu tidak adil karena saat itu aku masih seorang anak kecil, sekarang aku sudah ikhlas akan kepergiannya, hanya saja aku rindu dengan kenangan ketika bersama. Sudah cukup lama aku melamun, hingga hujan mulai turun lagi. Ah iya, aku baru ingat, seharusnya ayah sudah pulang ke rumah sejak tadi, kenapa sampai sekarang belum datang? Saya mohon.. jangan terjadi hal yang tak diinginkan.

KENANGAN DALAM KATA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang