6. Kembali Dekat

9 1 0
                                    

Cahaya matahari menembus jendela kamar, membangunkanku yang semula tertidur lelap dengan kaos berwarna putih. Pagi itu radio memutar beberapa lagu yang sudah tak asing bagiku. Tiap kata membuatku memutar memori di masa lampau, kenangan tentang seseorang yang membuatku merasakan hal yang disebut jatuh cinta.

Aku berniat untuk membersihkan sepedaku, sembari menikmati alunan musik yang terus berputar. Tanpa diduga, seorang gadis yang sepantaran denganku berjalan menghampiri.

"Permisi, saya pendatang baru di perumahan ini. Kebetulan saya membuat banyak kue, tolong diterima, ya?"

Aku seperti pernah mendengar suara gadis itu, ketika aku mencoba menatapnya, ternyata aku memang mengenalnya.

"Eh? Terima kasih banyak, Anin. Wahh gak nyangka rumah kita bisa sedekat ini lagi," ucapku sembari sedikit tertawa, setidaknya itu cukup mengurangi rasa canggung. Bagaimana tidak, aku yang dulunya sering jahil pada Anin sampai terkadang membuatnya menangis, tiba-tiba jadi segugup ini bila bertemu.

"Dek Anin, kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk minta bantuan ke sini, ya. Kan sekarang sudah jadi tetangga," sambung Ayah.

"Hahahaha, terima kasih, Om. Saya pamit pulang dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawabku dan Ayah kompak.

"Dih, Anin sudah pergi, kok kamu masih senyam-senyum, kamu suka, ya?"

"Siapa yang senyam-senyum, Dika lagi mikirin Arya kok, tumben aja kok jam segini dia belum dateng, biasanya ngajak main."

"Alasan mulu, Ayah juga pernah muda seperti kamu, jadi tau. Tenang aja, dulu juga Ayah ngejar ibu kamu udah kayak ngejar bus."

"Hahahaha, udah berapa kali gagal ngejar busnya?"

Suasana pagi itu menjadi semakin hangat diiringi candaanku dengan Ayah. Memang, orang tua sangat mengerti perasaan anaknya, dan aku bersyukur akan hal itu.

KENANGAN DALAM KATA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang