07| RASA

370 160 79
                                    


Halo haloo~

Yang lagi puasa gimana nih puasanyaa? Semoga lancar ya! 💌

YANG ENGGAK PUASA PADA IKUTAN WAR TAKJIL YA? HUH, SISAIN DIKIT KEK! (HAHA)

SEBELUM LANJUT, VOTE DULU DONG! THANKS A LOT 🎗


***

Dari dulu, Veis adalah tipikal manusia  yang selalu overthinking. Mau hal besar, hal kecil―apapun itu semua yang terbesit dibenaknya, harus dicari tau pada detik itu juga. Dia memang memiliki tingkat curious yang sangat tinggi. Walau kata orang-orang, orang yang tipikal seperti itu cenderung pintar, namun kenapa dia tidak? Yang pasti, hanya Tuhan yang tahu. 

Pagi ini, lagi-lagi dia masih dibuat penasaran dengan suara system canggih yang didengarnya tadi malam. Namun, sayangnya dia mendengar pergerakan jendela yang menjadi tanda bahwa cowo siluman spiderman itu sudah pulang. Even though it's starting to get exciting.

"Artis tapi sok ngartis, sok misterius pula. Sebenernya dia siapa sih?" gumamnya sambil melihat ubin kotak-kotak, namun ternyata pertanyaan terakhir tadi ditangkap oleh telinga cowo yang baru saja keluar kamarnya. 

"Manusia." 

"Sok tau lo." timpal Veis kesal dan langsung duduk di meja makan. Ilya hanya diam, tidak merespon lagi timpalan Veis. Kakinya yang jenjang itu kini berjalan menuju kulkas untuk mengambil botol kaca yang berisi selai blackberry, lalu meletakkannya kasar di depan Veis. 

Tuk!

"Feel better?" tanyanya sekarang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. 

"Udah baikan kok, thanks.." ucap Veis acuh tak acuh, sedikit canggung karena tidak terbiasa ditanya hal seperti itu sebelumnya. Dengan artian lain, dia bukan tipikal cewe yang suka dengan small talk.

Memang sejak dulu, Veis kurang akrab dengan kedua orang tuanya, sejak SD dia diasuh oleh orang yang sudah Veis anggap sebagai mama dan papanya sendiri yaitu orangtua Adelline. Bahkan, dia bisa mendapatkan beasiswa ke Paris ini pun akibat saran dari mama Adelline. Papa Adelline juga bersedia untuk mentransfer uang setiap bulan selama ia dan sahabatnya itu kuliah di Paris. Makanya gadis itu tidak mau kuliah bermain-main, karena dia tidak mengeluarkan uang sepeser pun di sini. 

Dengan gaya sedikit kaku, gadis itu menyeruput teh panasnya sambil memperhatikan gerak gerik Ilya yang terfokus pada buku bersampul merah di tangannya. Secara bersamaan, cowo di depannya itu masih mengeringkan rambut bekas sisa keramas. 

Setelah beberapa menit, suara berat Ilya memecah keheningan, 

"Matkul pagi lo sampe jam berapa?" tanyanya, tatapan matanya yang mengintimidasi menembus jiwa Veis, yang membuat dirinya yang tengah menikmati roti ditangannya mendadak berhenti mengunyah. 

" Emm, sekitar Jam 9... eh, atau jam 10 ya? Kayanya jam 9 deh, eh enggak sih.. jam 10 kayanya--"

"Yang bener yang mana?" tanya Ilya, memastikan. 

"Jam 10 sih," 

"Nanti ke lantai basement, gue tunggu." 

"Loh, mau kemana?"

"Just do it and don't be late. Kalau telat, push up 200 kali gaya kayang!" mantap Ilya diakhiri dengan seringai sebelum keluar dari pintu utama. 

Love Sign!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang