012. interview kerja

90 12 9
                                    

Tubuhku mondar-mandir di bawah gedung X. Tingginya kira-kira mencapai 230 meter dan memiliki 45 lantai. Perusahaan Good Livin' sendiri berada di lantai 25.

kepalaku mendongkak ke atas bangunan, menerka-nerka di mana perusahaan itu berada jika di lihat dari bawah. Kemudian beralih pada kumpulan awan comulus yang menyambut matahari pagi. Tidak terasa ternyata sudah setengah jam aku berada di sini, berkelahi dengan rasa gugup yang bikin perutku mulas

Jam sudah menunjukan jam sembilan pagi. Itu artinya masih ada waktu satu jam untuk mengikuti interview kerja.

"Nanti jangan gugup. Santai aja," ujar Kafka dengan suara beratnya. Tepatnya suara akibat kelelahan. Dia terlalu memaksakan diri untuk mengantarkan aku ke sini.

Berawal dari percakapan di grup yang isinya Mas Gala, Rhun, dan Kafka, mereka membicarakan tentang aku yang pada akhirnya setuju menerima tawaran Rhun untuk mencoba apply di perusahaannya.

Namun sebenarnya, ini bukan seratus persen keputusanku juga. Mas Gala dan Kafka juga berusaha terus-terusan membujukku.

"Kesempatan gak datang dua kali. Rhun udah berbaik hati."

"Tapi aku gaenak ah. Masa satu kantor sih sama Mas Rhun?"

"Ya itu pun kalau lo diterima. Seenggaknya Cobain dulu aja deh. Itung-itung cari pengalaman. Masalah diterima atau gak mah ... urusan nanti. Lagipula gapapa kali sekantor sama Rhun ... gue jadi lebih tenang. Biar lo ada yang jagain."

"Mulai deh ... Mas Rhun tuh kerja di sana! Jangan ngerepotin orang gitu ah. Gue bisa jaga diri kok."

Kalau dipikir-pikir ucapan Mas Gala ada benarnya. Seumur hidup aku belum pernah sampai tahap wawancara begitu. Selama ini cuman dengar pengalaman teman atau orang lain di sosial media, tentang kiat-kiat melakukan interview kerja. Meskipun sejujurnya sangat "psimis" gak punya pengalaman, tetapi apa salahnya buat mencoba?

Jadi, aku menerima tawarannya.

Mungkin Rhun tahu dari temannya jika hari ini aku di undang ke kantor dan kabar itu sampai pada Kafka. Jadi pagi-pagi sekali setelah kelar shooting film, dia datang ke rumah. Bilangnya mau numpang makan, tetapi ujung-ujungnya nganterin aku juga ke sini.

"Gak gugup gimana? Namanya juga pengalaman pertama."

Kafka yang penampilannya lebih mirip orang yang sedang liburan ke negara musim dingin—menyamar mengenakan jaket tebal, kacamata hitam, dan masker—itu terkekeh melihat wajahku yang setengah kesal. "Ya tahu, maksudnya jangan gerogi. Jawabnya santai aja. Jangan dibikin beban gitu lho!"

"Ya mudah-mudahan aja yang interview orangnya asik," jawabku sambil menutup mata untuk berdoa agar diberi kemudahan.

Waktu semakin mendekati jam yang ditentukan oleh pihak perusahaan. Aku dan Kafka memutuskan untuk duduk di sekitaran taman kecil berhadapan dengan pintu lobby gedung urtama. Sudah mulai banyak karyawan yang datang dari berbagai arah pintu masuk.

Tujuan Kafka berpakaian tertutup agar tidak dicurigai. Tetapi penampilannya yang mencolok malah membuat semua mata tertuju padanya. Adanya yang bisik-bisik, ada yang tertawa, ada juga yang tak peduli sama sekali.

"Wwkwk. Diketawain tuh sama mbak-mbak cantik."

"Mereka aja yang udik. This is fashion tau! Kalau ada orang yang pakai bikini di musim dingin, masa ga boleh ada orang yang pakai coach di musim panas?"

Kafka membela diri, tentu aku makin terpingkal dibuatnya. Tetapi dengan begitu, aku mulai melupakan rasa gugup dan bisa lebih relaks.

Lima belas menit sebelum interview, aku memutuskan untuk langsung naik ke atas saja.

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang