Setelah aku membuktikan tentang foto itu, semua teman-teman percaya. Bahkan aku dianggap keren karena bisa memikat cowok yang lebih tua lima tahun. Meskipun kata "memikat" sepertinya tidak tepat. Kenyataannya Rhun hanya menganggapku sebagai adik sahabat baiknya.
Waktu demi waktu berlalu, rasa itu masih sama. Setiap ada Rhun berada di sekitar, jantungku mendadak jadi berdebar hebat. Kadang kala juga sering salah tingkah kalau tiba-tiba ia tersenyum-menampilkan lesung di kedua pipinya. Sampai hari itu datang. Hari di mana untuk pertama kalinya aku menangis karena Rhun.
"Woy bocil ... kenalin itu Gami, pacarnya Rhun!"
Mas Gala bicara dengan intonasi yang begitu menyebalkan. Saat itu aku baru saja pulang sekolah, lalu mendapati mereka berada di ruang tengah bersama seorang perempuan cantik dengan tubuh ramping dan rambut hitam panjang. Perempuan itu duduk di samping Rhun. Ia menyapa dengan suara yang menurutku dilebih-lebihkan agar terdengar manis.
"Hai, ini pasti Bri, ya? Aku Gami."
Aku bisa saja bersikap masa bodoh agar Gami tahu bahwa ia tidak suka padanya. Namun di sisi lain, aku juga tidak ingin Rhun, Kafka, atau Gala berpikiran tentang sikapnya yang kekanak-kanakan. Sehingga ketika itu, aku menyahuti tak kalah manisnya.
"O ya, Kak Gami. Salam kenal."
Harusnya aku bisa tahan berjam-jam di ruang tengah karena ada Rhun. Tetapi kali ini suasananya sudah beda. Apalagi ketika aku tak sengaja menangkap Rhun dan Gami melempar pandang saling menggoda.
Hatiku perih, rasanya seperti diremas-remas sehingga aku mencari-cari alasan agar bisa pergi ke kamar.
"Tumben cepet banget ke kamarnya, Bri? Mau belajar buat tryout ya?"
Hanya Kafka yang menyadari perubahan dari ekspresiku. Mungkin terlampau peka, atau memang tahu bahwa aku menyukai Rhun. Tetapi setidaknya aku perlu berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku hari ini.
"Iya, Mas. Bulan depan udah mau UN nih. Doa-in, ya!" jawabku dengan nada meyakinkan. Maka, tidak ada satu pun dari mereka lagi yang menahanku untuk berada di sana.
Di dalam kamar, aku menumpuk semua buku-buku soal ujian di meja belajar tanpa pernah menyentuhnya. Yang bisa kulakukan hanya menangis, sembari memandangi lockscreen ponsel milikku yang menampilkan foto aku dan Rhun yang diambil tahun lalu.
**
Aku dan Tamara masuk SMA Bina Adi Dharma, sedangkan Clara dan Wina masuk di SMAN 8 Jakarta. Meskipun tidak satu sekolah lagi, kami sering bertukar kabar melalui grup chat dan besahabat baik. Masa-masa SMA terasa lebih berwarna. Aku lumayan aktif di berbagai organisasi, termasuk OSIS dan Paduan suara. Lumayan sibuk sampai-sampai di hari Sabtu dan Minggu sering ke sekolah untuk rapat dan latihan jika ada perlombaan atau acara sekolah.
"Lho, Mas Kafka?"
Aku refleks membalikan tubuh dan menutup mata ketika tak sengaja melihat badannya bertelanjang dada dan bagian bawahnya hanya dililit oleh handuk. Kafka sama terkejutnya, lalu masuk lagi ke kamar mandi-hanya kepalanya saja yang nongol dari balik pintu. "Mas kira kamu udah ke Sekolah. Maaf, maaf, dikira di rumah udah gada orang."
Ayahku punya usaha percetakan lumayan besar yang tersebar di wilayah Indonesia. Sejak Mas Gala kecil ayah memang sibuk mengurusi perusahaannya tersebut dan jarang berada di rumah. Waktu kami masih kecil-kecil, ibu selalu berada di rumah memastikan semua kebutuhan kami tepenuhi. Namun ketika sudah menganggap semua anak-anaknya dewasa, ibu jadi sering ikut ayah kerja. Jadi rumah ini terbiasa sepi. Mungkin itu alasan Mas Gala sering bawa teman-temannya main di rumah.
"Ini mau kok," jawabku kikuk dengan wajah memerah. "Mas Gala ke mana, ya?"
"Kayaknya ada di kamar, coba aja lihat. Kalau gada berarti dia udah pergi beli sarapan. Hari ini Mbok Dar gak masuk. Cucunya kena cacar air. Mau ngapain, Bri?"
"Mau minta anterin ke sekolah. Hari ini ada latihan padus buat persiapan lomba."
"Ooo" gumam Kafka, lalu tanpa membalikan badan lagi, aku pamit pergi ke kamar Mas Gala
Aku anak yang punya sopan santun, tetapi kadang kala semua tata krama hilang begitu saja jika membayangkan wajah Mas Gala sehingga tanpa mengetuk pintu, aku langsung mendobraknya.
Betapa kaget ketika melihat pemandangan kamar yang lebih mirip kapal pecah ini. Kamar yang penuh asap rokok membuatku sempat terbatuk-batuk. Kakiku maju beberapa langkah, lalu tak sengaja menginjak botol-yang belakangan ini baru kutahu adalah merek minuman keras untuk mabuk-mabukan-serta puntung rokok yang berserakan. Aku menghela napas panjang, bergegas membuka horden yang masih tertutup rapat itu agar cahaya matahari bisa masuk. "Gila gila ya, lo! Bangun!"
Pandangan mataku tertuju pada tubuh Mas Gala yang terlungkup terbungkus selimut. Hanya menampakan rambut hitam lebat dan kakinya saja. Aku ngomel-ngomel sampai mengancam mengadukan pada ayah dan ibu, tetapi ia tak ada respons juga. Tentu aku kesal, dan ingin sekali menendang tubuhnya sampai terjatuh ke lantai.
"Mas Gala, ayooooo bangun! Kalau gak bangun, ya udah aku mau naik motor aja sendiri ke sekolah!"
Masih tetap tak ada jawaban. Padahal biasanya kalau sudah mengancam "ingin naik motor sendiri" Mas Gala akan mati-matian melarang.
Aku melirik jam yang melingkar di tangan dengan cemas. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum latihan padus di mulai. Tetapi makhluk menyebalkan ini masih tidak bereaksi apa-apa. Sehingga hanya ada satu cara, aku harus menarik selimut itu, lalu mengguyurnya dengan air putih yang berada di nakas samping kasur.
BRUKKK! Aku menarik selimutnya, lalu ketika hendak mengguyurkan air dalam gelas, badan yang terlungkup itu berbalik, lalu wajah Rhun yang memerah yang kulihat. Ia mengerang, meraba-raba mencari selimut yang baru saja aku tarik. Aku tertegun, kembali meletakan gelas ke tempat semula. Namun ketika hendak ingin mengambil selimut, tangan kami tak sengaja bersentuhan.
Tengkuk leherku panas, nyaris tidak bisa bernapas. Dengan sisa kewarasan, aku berniat langsung pergi. Tetapi tangan Rhun lebih cepat menangkap pergelangan tanganku, lalu menarik paksa sehingga tubuhku terjatuh di sampingnya.
"Kamu ke mana aja, Gami sayang. Aku kangen," ujarnya dengan suara berat dan parau. Rhun sedang benar-benar mabuk. Entah mabuk dalam arti yang sebenarnya, atau mabuk cinta yang membuatnya lemah tidak berdaya.
Aku sangat kesal Rhun menganggap aku sebagai Gami. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berusaha melepas cengkramannya. Sial, tangan Rhun jauh lebih kuat sehingga aku kesulitan melepasnya.
"Mas Rhun, aku Briana. Bukan Kak Gami. Lepasin ..." suaraku cukup kencang sedikit membentak, membuat Rhun sekejap terbangun dari ketidakwarasannya.
Tepat saat Rhun terbangun-masih setengah sadar-Kafka yang sudah berpakaian lengkap muncul dari balik pintu kamar. Ia elihat dengan jelas Rhun mencengkeram tanganku. Tanpa basa-basi, Kafka langsung melepaskan cengkeraman itu, lalu menarikku menjauh darinya.
"Mas Kafka aja ya yang anterin Bri ke sekolah."
"Te-terus Mas Rhun gimana?" Aku mengalihkan pandangan pada Rhun yang sedang mengerang, lalu memijit-mijit kepalanya, dan berusaha bangun. "Dia sendirian dong?"
"Biarin aja, he was drunk. Udah biasa kayak gitu. Yuk, nanti telat lho latihannya."
Sebelum meninggalkan kamar Mas Gala, sekali lagi aku memandangi Rhun. Wajah cerah dengan lesung di kedua pipi yang memikatku, sudah tak lagi sama. Ia makin jatuh pada pesona wanita lain, dan itu bukan aku.
Kemudian aku sadar bahwa sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jadi pilihannya.
Mulai hari ini aku bertekad akan melupakannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...