017. kadang nyebelin, kadang nyebelin banget

123 13 4
                                    

Saat keluar dari coffee shop, langkahku terasa berat. Udara malam di Jakarta sedikit lengang, tapi pikiranku justru bising. Kafka masih menggenggam tanganku—erat tapi tidak memaksa, seperti sedang memastikan aku tidak jatuh ke jurang perasaanku sendiri.

Aku menatap jalanan di depan tanpa fokus, sementara suara langkah kami bergema di sisi perkantoran yang sepi dan gelap menuju parkiran.

"Kamu mau pulang sekarang atau muter-muter dulu?" Kafka membuka percakapan dengan nada tenang, seakan memberi pilihan tanpa tekanan.

Aku menggeleng pelan. "Pulang aja deh. Aku capek."

Kafka hanya tersenyum tipis, seolah dia sudah tahu jawaban itu. "Oke. Aku anterin, ya!"

Aku berhenti melangkah, menatapnya ragu. "Gausah deh, Mas. Aku bisa pakai ojek. Biasanya juga begitu. Lagipula memang habis ini gada kerjaan lagi?"

Dia menoleh, mengangkat alis seperti tidak percaya. "Hari ini cukup sampai di sini," jawabnya. Kemudian ketika aku hendak bilang 'bagaimana dengan riasan di wajahnya' dengan cara menujuk wajahnya, Kafka tersenyum dan bilang. "Ini bisa aku bersihin sendiri kok. Lagipula aku juga lagi ngerasa jenuh banget. Butuh temen ngobrol."

Kalimatnya sederhana, tapi anehnya selalu berhasil membuatku terhibur. Aku tahu dia gak pernah menuntut apa-apa dariku, tapi entah kenapa setiap ada Kafka di sampingku, rasanya dunia terasa sedikit lebih tenang. Seolah aku bisa berhenti berpura-pura baik-baik saja.

Kami berjalan menuju mobilnya. Saat sudah berada di dalam, dia langsung menyalakan musik, lagu-lagu indie pop dengan melodi lembut yang tak asing di telingaku. Aku bersandar pada kursi penumpang, memejamkan mata sebentar, mencoba mengabaikan bayangan Clara yang masih menempel di pikiranku—bayangan dia merapikan kemeja Rhun dengan santai, seolah itu hal yang wajar dilakukan.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Kafka bertanya tanpa melihatku, tangannya tetap fokus di setir.

Aku mengangguk pelan. "Iya. Cuma capek aja."

Dia tidak menanggapi lebih lanjut, tapi aku tahu dia paham kalau "capek" itu bukan cuma soal fisik.

"Kamu gak harus pura-pura kuat gitu dong Bri," katanya pelan.

Aku tertawa kecil, lebih sebagai usaha untuk menyembunyikan kegugupanku. "Aku kan emang kuat."

Kafka ikut tersenyum. "Iya, kamu selalu kuat kok. Tapi gak apa-apa juga kalau kamu mau lemah sebentar."

Kalimat itu membuat dadaku hangat sekaligus sesak. Rasanya seperti sedang dipeluk tanpa benar-benar dipeluk. Dan di saat seperti ini, aku semakin sadar betapa Kafka selalu ada untukku, tanpa pernah menuntut apa-apa.

Ketika mobil berhenti di depan rumah, Kafka menoleh, memberikan senyuman kecil. "Kalau ada apa-apa, kabarin aku, ya?"

Aku hanya mengangguk, lalu turun dari mobil. Sebelum menutup pintu, aku sempat melihat tatapan Kafka—tatapan yang hangat tapi ada sedikit rasa sedih di dalamnya, seakan dia tahu sesuatu yang tidak pernah kuberitahukan padanya.

Apakah dia tahu tentang perasaanku pada Rhun?

**

Dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional, semua karyawan wajib mengenakan batik. Kantor juga mengadakan acara makan-makanan tradisional dan berbagai lomba seru, termasuk lomba menyanyi, kontes foto Instagram dengan twibbon perusahaan, dan cerdas cermat lintas departemen.

Tentu saja aku tidak jago di salah satu lomba itu. Aku bukan sosok yang hits, suaraku pas-pasan, dan aku merasa tidak cukup berwawasan untuk cerdas cermat. Jadi, ketika seseorang tiba-tiba datang ke mejaku untuk membujuk ikut lomba, aku langsung merasa was-was.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 15 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang