015. insiden yang membuat kamu marah

85 11 2
                                    

Exhale, inhale. Pokoknya, jadi manusia harus punya prinsip. Jadi ketika Rhun mengirimkan pesan itu, aku berniat tidak menghiraukannya. Sebelum tidur, aku sudah menyuruh Mbok untuk membangunkanku lebih pagi agar ia pun bisa membuat sarapan lebih awal. Tapi semuanya sia-sia ketika mendapati sosok Rhun sudah berada di teras—rapih mengenakan kemeja biru dongker, lengannya digulung tiga per empat. Seakan semua sudah direncanakan dengan sempurna.

"Pagi..." sapanya sambil memasang senyuman khasnya yang menyebalkan itu.

Aku menekuk wajah kesal. Masih terasa dongkol dengan aduannya pada Mas Gala tempo hari. Padahal cuma perkara diantar ke rumah saja. Lebay banget kan? Ini bikin aku makin curiga—jangan-jangan Rhun itu mata-mata keluargaku. Kenapa aku gak kepikiran kalau bakal begini ujungnya? Pantas saja Mas Gala begitu semangat waktu aku diterima di Good Livin.

Seumur hidup, aku pasti ga akan pernah bebas. Gimana aku bisa move on kalau dia terus-terusan muncul begini?

"Padahal gak usah jemput ke sini, Mas." Aku melipat tangan di dada, sengaja memperlihatkan ketidaksukaanku.

"Salah kamu sendiri gak balas WhatsApp-ku. Ya, kan?" katanya sambil memasang ekspresi sok polos.

"Lain kali, gak usah jemput segala. Aku gak enak sama anak kantor. Nanti mereka kira kita ada apa-apa lagi. Emang Mas Rhun gak takut mereka meragukan profesionalisme Mas?"

Rhun hanya tertawa kecil mendengar omonganku. Tangannya terulur dan mengusap puncak kepalaku dengan gerakan lembut. Aku langsung mundur, hampir tersentak. Jangan sampai aku terbawa perasaan lagi. Ini Rhun. Fokus, Bri. Fokus!

"Ya ampun, Bri. Aku cuma mau jemput kamu ke kantor. Lagian kita kan searah?" Ia berkata santai, lalu melanjutkan, "Kenapa juga mereka harus ikut campur urusanku sih? atau jangan-jangan kamu malu kalau digosipin sama aku? Takut ya kalau Rangga salah paham?"

Mataku menyipit. Jadi ini masalah gengsi? Siapa yang bakal malu kalau digosipin sama cowok setampan, sekharismatik, dan sepintar Rhun Dana Wisesa?

"Jangan bawa-bawa orang lain, deh. Aku sama Rangga cuma temen, Mas. Dan, tolong, jangan bikin gosip apa pun ke Mas Gala!" kataku ketus, jelas tidak suka dengan caranya memancing.

Rhun hanya mengangguk sambil senyum tipis, seolah-olah kata-kataku angin lalu. Akhirnya, mau tidak mau kami berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, dia cukup peka untuk tidak banyak bicara, mungkin karena tahu aku masih marah.

Begitu sampai kantor, aku memutuskan turun duluan. Sengaja gak mau berjalan beriringan dengannya. Awalnya Rhun bersikeras, tapi setelah aku memberikan alasan logis, dia akhirnya menyerah.

Aku berjalan cepat di depan, sedangkan Rhun santai di belakang. Sesekali aku melirik ke belakang—dia hanya tersenyum, seolah menikmati kekesalanku. Aku terlalu fokus pada Rhun sampai tak sadar bahwa seorang petugas gondola di atas sedang ceroboh dan menjatuhkan ember penuh air ke arahku.

"Bri, awas!" Dua suara memekik bersamaan. Aku mendongak, refleks menatap ke atas.

Bruk! Sebelum aku bisa menghindar, tanganku ditarik keras oleh Rangga, dan kami terjatuh di atas paving blok dalam keadaan basah kuyup. Rhun kalah cepat. Ia hanya bisa bergeming di tempat, wajahnya memerah dengan campuran kaget dan kesal.

Petugas gondola buru-buru turun untuk melihat kondisiku.

"Bri, kamu gak apa-apa?" Rhun segera menghampiriku dan mencoba membantuku berdiri. Sementara itu, Rangga bangkit sendiri dengan tangan yang lecet.

"Gapapa kok..." jawabku dengan suara tercekat, menahan malu karena disaksikan banyak orang yang sedang masuk ke tower. Aku segera berbalik ke arah Rangga. "Ga, lo nggak apa-apa? Tangan lo..."

"Its okay," jawab Rangga santai, masih sempat melucu. "Untung embernya nggak nyamber kepala lo."

Petugas gondola akhirnya sampai di bawah, wajahnya pucat dan panik. "Kak, maaf... saya..."

Rhun langsung menyambar tanpa bisa menahan amarahnya. "Pak, tahu gak itu berisiko besar? Kalau embernya kena kepala orang, gimana? Tolong pastikan keselamatan, ya. Bukan cuma buat Bapak, tapi juga buat orang lain."

"Maaf, Pak. Ini semua salah saya. Pijakan licin kena hujan, saya—" Petugas itu tertunduk dalam, jelas merasa bersalah. "Kak... maafin saya..."

Aku jadi nggak enak hati melihatnya. "Iya, Pak. Gak apa-apa, kok. Saya juga baik-baik aja, cuma basah."

Tapi Rhun masih tidak puas. Ia terus mencecar petugas itu dengan sederet aturan keselamatan.

"Mas, udah... Udah cukup," bisikku sambil menggenggam lengannya. "Bisa gak masalahnya sampai sini aja? Kasihan bapaknya."

"Tapi, Bri—gimana kalau kamu tadi..."

"Mas, aku baik-baik aja, kan?" potongku, memohon dengan tatapan mata. "Udah ya, Mas. Dia juga udah minta maaf."

Rhun akhirnya mengalah, meski wajahnya masih terlihat masih sangat kesal.

Setelah insiden itu, aku segera ke toilet untuk membersihkan diri. Baru saja duduk jongkok di belakang pintu kamar mandi, suara ketukan terdengar dari luar.

"Bri, di dalam kan lo?" Itu suara Mbak Syifa, teman dekatku sekaligus teman Rangga.

"Iya, Mbak..." balasku lemah.

"Buka dong. Gue bawa handuk sama baju ganti. Kebetulan ada cadangan di loker."

Aku membuka pintu dan mendapati Mbak Syifa berdiri dengan senyum hangat sambil membawa handuk dan kemeja.

Setelah berganti baju, aku mengeringkan rambut di wastafel. Rupanya Mbak Syifa masih menunggu sambil tersenyum kecil.

"Untung ngepas, ya, kemeja gue." Ia mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar. "Nanti kalo usia kandungan udah empat bulan, nggak bakalan muat lagi deh."

"Thanks ya, Mbak. Gue gak tahu gimana jadinya kalo gak ada lo."

"Jangan cuma sama gue dong makasihnya." Mbak Syifa terkekeh dan menyenggol lenganku. "Itu handuk yang lo pake tadi punya Rhun, tau."

Aku membeku. "Hah? Mas Rhun? Rhun yang itu?"

Mbak Syifa tertawa. "Rhun mana lagi? Lo tahu nggak, dari tadi dia mondar-mandir depan toilet kayak suami nungguin istri lahiran."

Aku tertawa kecil, tapi jantungku berdebar kencang. Mau dianggap apa pun, perlakuannya terlalu manis untuk diabaikan. Benar, kan?

Mungkin... aku harus ajak Mas Rhun makan malam sebagai tanda terima kasih?

**to be continued**

yaa memang pesona rhun gak bisa diabaikan gak sihhh?? 🫶🏻

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang