005. pertemuan tidak bisa--bersama kekasih dan seseorang lainnya.

144 16 5
                                    

Dulu aku naif dan menganggap hari bersama Rhun akan segera datang bila lebih sabar sedikit saja. Pada kenyataannya, untuk kedua kalinya aku benar-benar jatuh—lebih jatuh dari yang pertama.

"Bri, minta teraktiran tuh sama Rhun!"

Mas Gala belakangan sering minta video call. Alasannya sih mau memantau biar aku ga salah pergaulan. Kadang kalau sejam saja tak membalas pesannya, dia suka overthinking kalau aku lagi berbuat macam-macam. (Re: kenakalan remaja). Mana sempat begitu. Tugas kuliah sebagai mahasiswa Psikologi saja sudah pusing bukan main.

"Emang kenapa? Dapet pacar baru?" kataku asal-asalan.

"Ganti jurusan dah lo jadi cenanyang. Kok tahu sih?"

Sejujurnya jawaban itu tak pernah kuharapkan. Tetapi kenyataannya, Rhun harus tetap melanjutkan hidup. Setelah jadi gila karena putus cinta, pada akhirnya ia menemukan seseorang yang bisa membantu rasa sakitnya. Meskipun sakit, aku bahagia atas kebahagiaanya.

Untuk melupakan seseorang, kita butuh orang lain. Jadi, apa salahnya jika aku juga melakukannya?

Beranjak dewasa, ibu makin cerewet tentang penampilanku yang katanya "apa adanya". Jika sedang berada di rumah, ibu sering mengajakku ke salon untuk treatment, serta membelikan aneka ragam skin care. Aku tahu bahwa semua itu penting bagi perempuan—merawat diri memang perlu kok! Teman-temanku juga sudah aware akan hal itu. Tamara, Clara, dan Wina juga banyak berubah dari make up and look. Makin cantik dan dewasa.

"Sudah, ikutin aja kata ibu," ujarnya dengan wajah setengah mengancam agar aku tidak berani protes lagi. "Mbak, tolong ini rambut gimbal anak saya di potong layer aja, ya ... terus ngetrap, jangan terlalu pendek. Nah, iya, segitu aja."

Dari kaca aku memperhatikan ibu yang sedang memperagakan tangannya mengatur rambutku. Sementara aku hanya bisa duduk pasrah.

Dan tidak bisa dipungkiri bahwa usaha yang ibu lakukan membuahkan hasil. Aku makin sadar bahwa cara kita berpenampilan juga mencerminkan cara kita menghargai diri sendiri. Mulai yang awalnya "bodo amat" sama pakaian yang itu-itu saja, sekarang aku makin rajin mix pakaian yang terinspirasi dari pinterest. Gak harus mahal, yang penting rapih dan wangi. Aku juga sudah mulai perawatan. Jerawat-jerawatku yang dulu sudah hilang entah ke mana.

Sejak saat itu-lah kenalan Tamara yang juga senior di kampus mengajakku berkencan.

Di semester empat aku mulai berpacaran dengannya. Lalu, bagaimana perasaanku dengan Rhun? Entahlah, mungkin karena jarang bertemu atau kepo apa pun tentangnya, aku tak bisa memastikan dengan benar. Yang jelas, Deka—pacarku—adalah pria yang baik. Ia lembut dan penuh kejutan. Bersamanya, hari-hariku jadi lebih berwarna.

Seperti ...

"Sayang, malam ini mau kan jalan? Sepupuku buka restaurant baru di Kemang. Mau, ya?"

"Boleh. Mau jemput jam berapa?"

"Jam tujuh. Aku janji sudah ada di depan pintu rumah," katanya dengan senyum yang menghangatkan. "Makasih ya sayang udah mau nemenin aku."

Sorenya aku sudah sibuk berdandan dan memilih pakaian terbaik. Karena ini acara formal penting—setidaknya untuk keluarga Deka—aku harus berpenampilan all out. A chick black dress selutut yang dipadukan dengan sepatu hills berwarna senanda. Tidak lupa menambahkan aksesoris kalung Frank&Co—kado dari Mas Kafka sebelum berangkat ke Pranciss—membuat leher jenjangku makin menonjol.

"Cantik banget pacarku!" Deka memborong semua love language. Ia tahu caranya membuat kekasihnya bahagia karena dihargai sama hal-hal kecil.

"You're man with word. Beneran udah sampai jam segini."

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang