003. obrolan sampai pagi

152 15 2
                                    

Rhun jadi sering mabuk. Diam-diam aku sering mengintipnya merutuki diri sendiri, kadang menangis sambil tertawa. Sebagai sahabat dekat, Mas Gala dan Kafka setia menemani.

Kadang mereka ikut juga minum meskipun tak sampai mabuk. Dengan hati-hati aku mencoba menanyakan alasan mengapa Rhun jadi sering minum-minum.

"Biasa, lagi marahan sama ceweknya," kata Mas Gala.

Sementara aku—yang saat itu beranjak remaja akhir—mulai mengerti arti bahwa cinta juga bisa bikin orang waras jadi gila. Apa namanya yang tega merusak diri sendiri? Kemudian beberapa hari setelahnya Rhun kembali datang ke rumah dengan Gami. Mereka terlihat baik-baik saja, lalu aku baru bisa melihat senyum itu lagi.

Memasuki semester lima, Mas Gala terpilih jadi Presma BEM Fakultas Tenik. Ia jarang berada di rumah karena kesibukannya. Harus aku akui, dia adalah panutanku. Selain nilai akademiknya yang membanggakan, ia juga aktif di berbagai forum dan organisasi.

Rhun dan Kafka jadi jarang main ke rumah. Paling kalau ada waktu di malam minggu, mereka bertiga menghabiskan malam bersama-sama. Pernah dari ruang tengah aku mendengar percakapan mereka tentang masalah pertengkaran antara Rhun dan Gami.

"Gami tadi ikut rapat kan, Gal?" tanya Rhun sambil menghisap rokoknya yang sudah habis setengah bungkus. "Gue capek ... dia ngehindar mulu."

Berdasarkan informasi yang kudapat dari Kafka, Gami menjabat sebagai Sekretaris BEM Fakultas Teknik—anggota Mas Gala. Hal itu juga yang sering bikin Rhun uring-uringan karena jadi jarang bertemu. Kadang kalau ketemu udah sama-sama capek dan berakhir bertengkar. Meskipun begitu, nyatanya hubungan mereka langgeng dua tahun tanpa kata putus.

"Dateng kok. Kali ini masalah apa lagi?"

"Dia cemburu sama Leyla. Lo inget dia gak Gal, Kaf?"

"Lelya pacar Bimo temen SMA lo itu gak sih? Yang waktu itu ketemu pas lagi nongkrong di PIK?" jawab Kafka, sementara Mas Gala hanya menganggukan kepalanya saja.

Aku pura-pura cuek mendengarkan musik sambil tiduran di sofa ruang tengah. Padahal sebenarnya aku tidak sedang mendengarkan lagu apa-apa.

"Cuma karena dia ngechat gue curhat tentang Bimo. Di sana kita gak bahas lain-lain kok. Tapi tetep aja dia cemburu. Gila ya, gue bener-bener gak habis pikir sama Gami."

Mas Gala menepuk pundak Rhun sambil berkata layaknya pakar cinta. Padahal pengalamannya pun payah. "Orang bilang cemburu itu tanda cinta, Bro. Jadi wajar aja kalau Gami cemburu."

"Ya, cemburu juga harus masuk akal dong, Gal. Kan mereka cuma Chat biasa aja," timpal Kafka dengan wajah yang lumayan serius. "Menurut gue ... hubungan kalian itu udah toxic anjir."

Toxic relationship ... aku pernah membaca salah satu karakter di wattpad yang punya hubungan seperti itu. Mereka saling mencintai, tetapi juga saling menyakiti. Dalam kasus itu, sepasang kekasih merasa saling memiliki sehingga tidak rela jika salah satu dari mereka—bahkan—punya kehidupan selain dengan mereka. Entah dalam pertemanan atau pun pekerjaan. Cemburu berlebih yang mengengkang. Bagiku, itu hal yang menakutkan.

Tanpa terasa aku larut dalam percakapan dan perdebatan tiga sahabat itu. Refleks menganggukan kepala jika setuju, menggeleng jika dirasa kurang tepat. Kemudian suara Kafka membuatku bergeming. "Bocil, kamu nguping ya?"

"Gak kok, orang aku lagi dengerin musik!" sergahku cepat yang langsung berdiri, menujukan headset yang masih terpasang di telinga. Sesaat semua yang terdiam di situ ikut tertawa. "Kalian kok pada ketawa sih?!"

"Tuh kabelnya aja gak nyolok ke hape lo kok!" ejek Mas Gala. Lalu aku merutuki diri sendiri karena kebodohanku. Ya Tuhan, mau taruh di mana mukaku ini?

"Udah, udah jangan ketawain adek lo, ah. Sini, sini, Bri. Mas Kafka kan udah janji mau teraktir kamu kalau lolos audisi."

"YANG BENER MAS KAFKA LOLOS AUDISI FILM SEBELUM MATAHARI TERBENAM?"

Tiba-tiba saja aku melupakan rasa malu karena berita yang membahagiakan itu. Di antara ketiganya—termasuk Mas Gala—Kafka-lah orang yang paling terbuka. Ia menceritakan rencana dan permasalahan finansial keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja. Aku sempat bertanya kenapa Kafka mau menceritakan itu semua.

Dia bilang sebagai manusia yang masih dianggap takt ahu apa-apa tentang hidup, aku pasti punya jawaban dan ekspresi yang jujur.

Terlebih kadang ... Mas Kafka cuman pengen didengerin tanpa harus dikasih advice A sampai Z

"Wah ... lo lolos audisi film karya Bang Iqbal Bro?" Mas Gala dan Rhun ikut bersorak sambil memeluk Kafka secara brutal. "Kok gak bilang sih?"

"Ini mau bilang kok."

Sebelum Matahari Terbenam adalah novel best seller karya Kimi—penulis berbakat Indonesia—yang diangkat ke layar lebar. Film itu digarap oleh Bang Iqbal, sutradara ngetop yang sudah banyak menggarap film keren dan berkualitas.

Sebagai aktor pendatang baru, Kafka tidak langsung mendapat peran utama. Ia memulai debutnya sebagai peran pendukung. Meskipun begitu Kafka tetap hebat karena seleksinya pasti sangat ketat, ditambah ia sama sekali tidak punya sponsor atau kenalan dalam industri ini.

Sesuai janji, Kafka meneraktir kami semua sampai kenyang. Belum satu menu habis, sudah pesan yang lain lagi lewat aplikasi pesan antar. Malam itu, untuk pertama kalinya aku ikut bergabung lagi setelah sekian lama menghindar. Hingga pagi menjelang, tidak ada satu pun dari mereka yang cerita tentang Gami, tidak ada yang merokok, dan tidak ada yang mabuk lagi.

Kami tertidur di ruang tengah dengan televisi dan kipas angin yang masih menyala. Aku ingat betul duduk di karpet, dan kemungkinan tertidur di sana. Tetapi ketika bangun aku sudah ada berada di sofa, diselimuti oleh jaket jeans yang tak asing.

Ini kan jaket punya Mas Rhun? Pertanyaannya .... apakah dia yang menggotong tubuhku kemari?

Aku beranjak dari sofa dan hendak menanyakan hal ini. Namun,  mengurungkan niat saat melihat ketiga sahabat itu masih tertidur pulas di karpet.

Kemudian pandanganku fokus pada Rhun, seseorang yang sangat sulit aku lupakan.

**

**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang