013. perasaan itu masih sama

97 11 0
                                    

Setelah melalui serangkaian wawancara yang menegangkan, akhirnya aku menerima kabar baik: aku diterima bekerja di Good Livin'. Rasanya seperti mimpi saat Mbak Dena menghubungi dan mengabarkan bahwa aku bisa langsung bergabung minggu depan.

Malam sebelum hari pertama, aku benar-benar tak bisa tidur. Pikiranku berputar-putar, membayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan bodoh dan mempermalukan Rhun? Semua orang pasti akan tahu aku adalah "orangnya Rhun." Dia terang-terangan menyebutku adiknya beberapa hari lalu saat kami makan siang bersama teman-temannya.

"Si anjing... dikejar deadline, katanya. Gara-gara lo nolak gue ajak ke kafe baru. Akhirnya gue bareng Axel aja. Udah jelas mau sama cewek, kan?" ledek Rico dengan cengiran khasnya.

Rhun hanya tertawa kecil dan mengusap kepalaku sekenanya. "Ngarang. Ini adek gue. Adiknya Gala."

"Anjrit! Gala Yuda yang di Aussie itu? Kok adiknya cakep, ya? Beda jauh sama abangnya."

Sejujurnya, kalimat itu hampir membuatku kepedean tingkat dewa. Seolah-olah, Rhun mengorbankan waktunya hanya untukku. Tapi nyatanya, itu hanya pengingat bahwa aku tetap terjebak di zona "adik manis." Hanya Rico yang berhasil membuatku sedikit terhibur.

Di hari pertama bekerja, kekhawatiran itu terus menghantuiku. Bagaimana jika semua orang menganggapku hanya numpang di bawah nama Rhun? Dia karyawan teladan di kantor. Aku tidak ingin mempermalukannya. Aku harus bekerja keras dan menjaga sikap, terutama agar tidak terlambat di hari pertama.

"Good Livin' punya dua kantor. Head office di gedung X dan showroom di Taktakan, Serang," jelas Mbak Dena saat kami berkeliling kantor. "Minggu depan kita ke showroom, sekalian ambil data buat tes kesehatan akhir tahun."

Aku mengangguk, mengikuti langkahnya dengan saksama. Setelah berkenalan dengan beberapa orang di divisi akuntansi dan procurement, kami tiba di depan ruangan Rhun. Jantungku berdegup kencang. Apakah aku bisa bersikap biasa saja di hadapannya?

"Selamat siang semua. Maaf mengganggu," sapa Mbak Dena di ambang pintu. "Ini karyawan baru, pengganti Mutiara."

Semua mata tertuju padaku. Di ruangan itu, ada enam meja bersekat. Di sudut ruangan, duduk seorang pria bertubuh tinggi gempal dengan rambut pelontos dan kacamata tebal. Dia memandangku dengan ekspresi datar, entah karena suasana hati yang buruk atau pekerjaan yang tidak berjalan lancar.

Tepat saat aku mulai merasa canggung, pria itu menyambut dengan ramah. Raut wajahnya berubah 180 drajat. Kala itu aku menyadari telah salah menilainya.

"Halo! Selamat bergabung di Good Livin'!" seru Pak Danu, manajer Biro Konsultan Bangunan, dengan senyum lebar.

"Saya Briana, Pak. Salam kenal," balasku, mencoba menutupi kegugupan.

"Semoga betah ya, Bri. Di sini isinya cowok-cowok semua. Biasanya ada enam orang, tapi satu lagi sakit. Woi, pada berdiri dong, masa diem aja ada cewek baru?" kata Pak Danu sambil melirik ke arah rekan-rekannya.

Mereka semua berdiri, termasuk Rhun. Aku menghampiri setiap orang untuk berjabat tangan. Sampai akhirnya, aku tiba di meja Rhun. Tanganku gemetar ketika mengulurkan tangan padanya.

"Halo, Briana. Saya Rhun. Selamat bekerja di sini, ya," ucapnya dengan senyum hangat yang membuatku sedikit lebih tenang.

Tapi di dalam hatiku, sebuah kekhawatiran masih tersisa: Apakah aku bisa membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar "adik manis" di matanya?

**

Hujan deras mengguyur kota pagi ini, meski ramalan cuaca mengatakan hari akan cerah. Jalanan macet dan sebagian titik sudah tergenang banjir. Setiap pagi dan sore, aku selalu memesan taksi online untuk pulang dan pergi kerja. Tapi hari ini, aku memutuskan turun di tengah jalan karena khawatir akan terlambat.

Dengan payung lipat di tangan, aku berjalan cepat menembus gerimis. Beberapa orang di sekitarku melindungi kepala mereka dengan jaket atau kemeja. Ada juga yang berlari sambil cuek membiarkan bajunya basah.

"Bri! Briana!"

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Di dekat Alfamart, Rhun berdiri bersama beberapa orang yang berteduh. Senyumnya mengembang begitu melihatku.

"Mas Rhun? Kok di sini?" tanyaku sambil menghampirinya.

"Kehujanan dan kejebak macet," jawabnya santai. "Mobil aku tinggal di kantor semalam. Terus tadi naik Gojek, eh hujan tiba-tiba deras."

"Mas Rhun nggak bawa payung?" tanyaku sambil melirik sekeliling.

Dia menggeleng pelan.

"Bareng aku aja, yuk," kataku tanpa ragu.

"If you don't mind," balasnya. "Jam setengah sepuluh aku harus pimpin rapat, soalnya."

Aku mengecek jam di pergelangan tanganku. Masih pukul delapan tiga puluh. Aku tahu risikonya jika kami kepergok jalan bersama teman kantor, tapi untuk hari ini saja, biarlah aku menuruti keinginanku.

"Gak kok, Mas. Yuk, nanti bisa telat."

Rhun mengambil alih gagang payung kecilku. Sebagian tubuhnya terpaksa basah karena payungnya tidak cukup besar untuk kami berdua. Tapi dia tetap memiringkan payung ke arahku, melindungiku dari hujan.

"Payungnya agak geseran, Mas. Kalau semua buat aku, nanti Mas basah," kataku.

"Gapapa. Nanti di ruangan juga kering sendiri. Kalau kamu basah, gimana? Aku kan nggak bawa jaket buat nutupin."

Aku tidak mengerti apa korelasi antara basah dan jaket. Tapi kalau boleh GR—mungkin kali ini Rhun memang peduli? Cara dia memperlakukanku berbeda. Tidak ada kata-kata manis berlebihan seperti lelaki lain yang mendekatiku, tapi justru itu yang membuatku semakin luluh.

Di depan lobi kantor, Rhun melipat payung pink milikku dan menitipkannya ke satpam. "Pak, saya taruh di sini ya? Nanti sore saya ambil lagi."

Dia lalu menatapku dan bertanya, "Baju kamu nggak basah kan?"

Aku menggeleng pelan, sambil memperhatikan rambut dan kemejanya yang basah.

"Mas Rhun basah, tuh," ujarku, sedikit merasa bersalah.

"Lebih baik aku yang basah daripada kamu," jawabnya sambil tersenyum. "Makasih ya, tumpangan payungnya."

Dadaku berdegup kencang. Setiap kali Rhun memberikan harapan kecil, dia menghancurkannya lagi dengan sikap dingin. Tapi anehnya, perasaanku tidak berubah sedikit pun.

Aku masih menyukainya.

**to be continued**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang