016. kecewa lagi dan lagi

92 13 4
                                    

Bibirku terus mengulum senyum ketika mengingat ucapan Mbak Syifa di toilet. Apakah Rhun benar-benar mengkhawatirkanku? Dan apakah marahnya pada petugas gondola juga karena rasa perhatiannya padaku?

Mari bicara tentang andai-andai. Bagaimana jika perhatiannya bukan lagi sekadar adik manis? Dalam peraturan undang-undang negara ini, usia dua puluh dua tahun sudah cukup dewasa dan mandiri. Aku bahkan bukan anak putih biru ketika pertama kali bertemu?

Maka dengan andai-andai itu, aku segera mengirimkan pesan padanya untuk bertemu sepulang bekerja. Berharap jika ia benar-benar punya waktu. Sesuai rencana, aku akan mengajaknya makan malam bersama.

Namun, pesanku tidak pernah dibalasnya. Di read sih, tetapi belum di balas.  Apa aku terlalu terburu-buru? Ah, tapi kalau dia memang peduli, pasti dia setidaknya akan bilang sedang sibuk, kan?

Satu jam, dua jam, sampai hari akan berakhir. Sejak tadi juga aku tidak melihat Rhun di mana pun. Sebelum beranjak dari kantor aku juga curi-curi melewati ruangan akuarium itu. Tetapi nihil, Rhun tidak ada di sana.

"Cari Rhun, Bri?" Alex—teman dekat Rhun di kantor mengejutkanku. Ia berdiri sambil membawa secangkir kopi yang masih hangat. Aku tebak, dia baru saja dari pantry.

"Eh ... gak kok," balasku kikuk, sembari menggaruk tengkuk leher yang tak gatal.

"Oh gitu. Kirain cari Rhun soalnya dari tadi aku perhatikan kamu nengok ke dalam terus," katanya. "Kalau mau cari Rhun coba di kopi shop bawah deh. Biasanya kalau lagi sibuk, ngopi mulu anaknya. Tadi sebelum jam makan siang ikut sama Pak Danu ketemu client di Bekasi dan dapet info di grup mereka baru aja sampai ke sini lagi."

Alex terlalu TMI sih, cuman aku berterima kasih karena jadi tahu kesibukan Rhun belakangan ini. Setelah berbasa basi, sesuai dengan info Alex, aku langsung ke bawah coffee shop. Kemudian ketika keluar lift, betapa terkejutnya aku bertemu dengan Kafka.

"Lho, Mas Kafka?" Aku tidak percaya. Kafka menyenderkan diri di tembok samping lift. Ia masih mengenakan riasan dan pakaian yang proper—kelihatannya baru pulang shooting.

"Hai ... lama banget sih turun ke bawahnya? Teleponku juga ga kamu angkat," katanya sembari menghampiriku. Hadirnya Kafka seolah jadi jawaban sementara atas kekosongan yang Rhun tinggalkan. Tapi di sudut pikiranku, aku masih berharap—kalau saja yang muncul dari lift itu adalah Rhun

Aku mundur selangkah, pandanganku waspada, takut jika ada yang melihat interaksi kami. Gawat kalau sampai ketahuan paparazzi. Terakhir kali aku jadi bahan gosip perkara makan malam bersamanya. Kafka langsung paham melihat gerak-gerikku pun langsung diam di tempat.

"Maafin aku silent handphone-nya," cicitku. "Mas baru pulang shooting?"

Dia mengangguk. "Iya shooting iklan e-commerce. Itu yang di lantai delapan," jawabnya. "Udah makan belum? Makan bareng, yuk! Sekalian ajak Rhun kalau dia sempat. Sibuk banget kan ya dia belakangan?"

Aku hanya tersenyum kaku. "Eh, iya, boleh," jawabku. "Tapi ... boleh beli kopi dulu gak di situ?" Aku menujuk coffee shop paling hits di sini.

Dahi Kafka berkerut bingung. "Ngopi? Kamu suka kopi? Sejak kapan?"

Sial banget kenapa juga Kafka tahu aku jarang ngopi sih? Ya, bukan tanpa alasan. Kalau saja lambungku tidak bermasalah, aku pasti juga sering coba kok. Dunia kerja gak jauh-jauh dari kopi dan kopi, kan?

"Ya—abisan—aku ngantuk dan capek aja. Sesekali nambah kafein gada salahnya, kan?" kataku berushaa senormal mungkin.

Kemudian Kafka setuju. Kami berjalan beriringan. Beberapa ada yang tahu Kafka dan jalan kami harus berhenti karena sebagai public figure ia harus bersikap ramah pada penggemarnya. Berfoto dan memberikan tanda tangan pada siapa yang meminta.

Untung saja mereka tidak berpikir macam-macam dan menganggap aku adalah karyawan salah satu perusahaan e-commerce yang menjadikan Kafka brand ambasadornya.

Pandanganku menyapu coffee shop. Tetapi tidak sosok Rhun di sini.

"Bri, duduk sini aja, yuk!" Kafka memilih meja yang cukup tersembunyi di pojok. Hanya suasana kopi dan suara low-fi yang menemani. Aku berusaha tersenyum, meski pikiranku masih berputar tentang Rhun dan pesan yang tak berbalas."Bri, fokus dong. Lihat aku, jangan malah mikirin orang lain." Kafka tertawa kecil, seakan membaca pikiranku.

Aku hanya bisa menghela napas pendek dan mengangkat bahu. "Ah, ee—ngak kok, hehehe," balasku. "Aku mau pesan dulu ya?"

Namun, baru saja bangkit dari kusi, suara familiar itu membuatku tertegun.

"Wah ketemu di sini, Bri. Lah sama lo, Kaf?" Rhun datang dengan kemeja yang sudah acak-acakan tetapi masih terlihat keren. Aku nyaris tersenyum kalau saja tidak ada perempuan yang tiba-tiba datang dari arah belakang menghampiri Rhun.

"Ini temen kantor kamu?" katanya dengan nada manja.

Aku berusaha menyembunyikan perasaan kecewaku di balik senyum tipis. Tatapanku menempel pada Clara yang berdiri di samping Rhun, jarinya dengan luwes merapikan kerah kemeja Rhun. Pergerakan yang terlihat akrab, seolah dia sudah melakukannya berkali-kali. Rhun, seperti biasa, tampak tenang, bahkan tersenyum tipis padaku, seakan tidak menyadari betapa situasi ini menamparku.

"Iya ini Bri teman kantorku. Di sebelahnya Kafka, tahu kan?" katanya. "Nah, kenalin—Clara," ujar Rhun santai.

Aku mengangguk kaku, mencoba menahan diri agar tetap terlihat biasa saja.

"Anaknya Pak Danu," lanjutnya, kalimat itu melayang di udara dengan efek yang terasa jauh lebih berat daripada yang mungkin dia sadari.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa, muncul sosok Pak Danu dari belakang, menyunggingkan senyum puas.

"Nah, cocok ya anak saya sama Rhun? Sama-sama jomblo," ujarnya sambil tertawa kecil, seolah itu hanya candaan ringan.

Tapi bagiku, candaan itu terasa seperti belati tumpul yang menghujam pelan-pelan di dada.

Jadi ini alasan pesanku tidak dibalas? Karena dia bersama Clara? Suara-suara di dalam kepalaku mulai ramai, sementara aku hanya bisa berdiri di situ seperti orang tolol.

Aku menelan ludah dan berusaha memasang senyum yang terasa menyakitkan. Kafka di sampingku jelas melihat perubahan di wajahku. Seperti biasa, dia tidak pernah bertanya. Dia hanya tahu kapan harus bertindak.

"Kayaknya kita balik aja, ya, Bri?" Kafka berbisik, tangannya menyentuh bahuku pelan. "Udah nggak ngantuk kan, soalnya Rhun udah di sini?"

Rhun mengangkat alis, tampak tidak mengerti dengan apa yang terjadi, dan entah kenapa itu membuat dadaku semakin sesak. Clara ikut menatapku bingung, sementara Pak Danu masih tersenyum seakan dunia berjalan sempurna menurut rencananya.

"Eh, kenapa buru-buru? Ngobrol-ngobrol dulu aja," ujar Rhun dengan wajah clueless, seolah kehadiran Clara di sampingnya tidak berarti apa-apa.

Aku menarik napas panjang dan memaksakan senyum tipis. "Nggak, nggak apa-apa kok. Selamat menikmati kopinya ya, Rhun."

Dengan langkah cepat, aku berbalik dan berjalan keluar bersama Kafka. Rasanya setiap langkah terasa berat, seolah hatiku tertinggal di coffee shop itu bersama harapanku yang hancur. Di belakangku, samar-samar terdengar tawa kecil Clara dan Rhun. Mereka tertawa—tawa yang seharusnya bisa kudengar bersamanya.

Kafka berjalan di sampingku dalam diam, tapi tangannya menggenggam tanganku erat, seolah berkata, Aku di sini buat kamu. Jangan khawatir, aku nggak akan pergi ke mana-mana.

Dan untuk pertama kalinya hari ini, genggaman itu membuatku merasa sedikit lebih ringan, meski hanya sedikit.





**to be continued**

nothing sweeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang