[8] Penyewa Kamar Atas

196 36 7
                                    


Seminat apa kalian baca kisah Naya?

Mudah-mudahan enggak terbebani ya kalau aku minta vote dan komentarnya, itu sebagai bukti apresiasi kalian buat penulis dan supaya mereka lebih semangat lagi uploadnya.

Jujur, aku suka banget baca komenan kalian, dan kadang bisa sampai pengen upload tiga bab!!!




Ya udah, kita baca langsung saja.

Bismillah...



---


Selang tiga hari setelah sesi curhat Aya kepada Lia tempo hari, sang tamu yang ditunggu oleh Bi Sri akhirnya muncul di halaman rumah Aya.

Aya memasang tampang bete ketika melihat tamunya datang, ternyata seorang laki-laki dan ia mulai berpikir aneh. Bagaimana kalau orangnya jahat? Sepertinya dia harus kembali mengaktifkan CCTV-nya di setiap sudut rumah dan mencari satpam untuk menjaga rumahnya yang lumayan lapang.

Bi Sri membawa tamu yang berpenampilan seperti orang kota itu, masuk ke ruang tamu rumah Aya. Laki-laki tinggi, putih, bersih dan berwajah seperti artis Korea itu tersenyum pada Aya. Senyum yang sebenarnya memikat, tetapi Aya buru-buru menepisnya karena merasa waswas.

Kalau dia ternyata penipu gimana? Kepala Aya terus dipenuhi oleh hal-hal buruk.

"Bibi siapin minum dulu ya, Mbak." Bi Sri izin pamit ke belakang selagi tamunya akan diinterogasi oleh nonanya.

Aya mengangguk, ia segera duduk dan menyuruh tamunya ikut duduk.

Barang bawaan tamu itu tak banyak, hanya tas ransel dan koper hitam ukuran sedang.

Aya mencoba mengusir rasa gusarnya. "Ehm, ... dengan Mas yang mau sewa kamar ya?" tanyanya memastikan.

"Iya, saya." Laki-laki itu kembali tersenyum hingga matanya terlihat segaris.

Aya berdehem sekali, tenggorokannya mendadak kering luar biasa. "Jadi, saya Aya yang punya rumah ini. Dan saya dengan siapa?"

"Tama Afdan," sahut lelaki itu.

"Baik, Mas Tama," Mendadak Aya agak kikuk setelah melihat keringat di kening tamunya. Jawa Tengah di pesisir pantai memang sepanas ini, tidak heran Tama sepertinya kegerahan dan tidak biasa dengan suhu di sini.

"Afdan aja," koreksi Tama tanpa sungkan. Ia sambil mengusap keringat di keningnya, meski begitu gayanya tetap cool.

"Afdan? Oke. Mas Afdan ...," ujar Aya seraya meringis, aneh, pikirnya.

"Ehm, sori. Tama aja deh." Tama mengoreksi sekali lagi dengan bahasa tidak formal.

"So, Tama or Afdan?" Aya sok sabar. Padahal dia sudah geregetan.

"Urusan panggilan saja ribet!" Bi Sri bergumam kecil setelah mendengar percakapan dua orang di ruang tamu. Dia datang sambil membawakan dua gelas minuman dingin untuk diletakkan di meja. Lalu, ia kembali ke belakang karena sibuk dengan pekerjaan rumah.

"Oke, Tama!" putus Tama akhirnya.

Aya mengangguk. "Boleh pinjam KTP-nya?"

Tama terbengong sesaat.

"Untuk lapor ke RW setempat, Mas. Soalnya, kan, kita ini bukan kerabat," jelas Aya yang disambut tatapan hangat oleh Tama. Semenit kemudian Aya sudah menerima KTP tamunya. Masih lajang, 30 tahun, dan wiraswasta. Aya mencatat indentitas Tama dalam kepalanya setelah mengambil foto KTP untuk diserahkan pada RW nanti.

BREAKUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang