6 | Beban yang Terpendam

24 4 0
                                    

"Kanagara?"

Rey menatap Ervin dengan jengah. Ketika Ervin telah menyebutkan namanya seperti itu, tandanya pemuda itu terkejut dan kecewa. Seperti yang diketahui semua saudaranya, Rey adalah lelaki kedua diantara kedelapan saudaranya dengan kepribadian lembut setelah Chandra.

"Apa? Harusnya lo gak usah kaget, gue manusia biasa. Lo aja bisa jadi orang yang emosian kenapa gue nggak?" ucap Rey dengan nada sarkas. Muka Ervin mulai memerah, emosinya kembali membuncah, namun entah kenapa dia tak ingin mengeluarkannya

Ervin tau, Rey sama stressnya, Rey memiliki konfliknya tersendiri dan itu sebabnya Rey bertingkah acuh tak acuh saat Ervin mulai bertingkah mengenai masalahnya. Rey hanya tak ingin menyakiti perasaan saudaranya sendiri.

Namun tetap saja, emosi membuat Rey tetap melakukan kesalahan, dan menjadikan Ervin tetap mengeluarkan kekesalannya, "Tapi nggak dengan ngeiyain ajakan taruhan dari orang kayak dia, Rey!" sentaknya.

"... Lo tau dia orangnya gimana! Lo inget gimana marahnya lo sama Reno pas gue hampir bermasalah sama dia, kenapa sekarang lo jilat ludah lo sendiri? Gue ada disini, Rey! Gue disini buat lo," lanjut Ervin menghela nafas setelahnya.

***

Orng Asing
|Nak
|Cara apa lagi yang harus Mama lakuin?

Suara notifikasi terdengar, menampilkan sebuah pesan dari orang yang selama ini Ervin hindari. Ia lelah dengan segala hal yang mengganggu hidupnya. Ervin ingin menghindari orang tersebut, namun tak sanggup.

Pesan-pesan itu selalu ia baca tanpa berniat untuk membalasnya. Hingga perlahan-lahan semua perasaannya terpendam sekian hari, membuat emosinya gampang terpancing dan membuncah setiap saat.

Ia benci dengan kebiasaan barunya. Namun tak ada yang bisa dilakukannya selain memendam semuanya. Dan di hari itu, disaat orang yang ia hindari mulai terlihat pasrah, disaat itu pula puncak rasa lelah Ervin.

Dikamarnya dengan cahaya temaram, Ervin terduduk ditengah-tengah ruangan beserta ponsel yang berada dihadapannya. Ia mulai mengeluarkan keluh kesahnya setelah sekian hari, pada dirinya sendiri. Mungkin?

"Bunda, Ervin capek, Ervin nyesel udah nyakitin bunda pas bunda pulang ke rumah. Sekarang aku kangen bunda, pengen ngelurusin semuanya, tapi aku gak bisa. Bun, kenapa disaat aku udah relain Mama, dia balik lagi? Mamaku cuma bunda, kenapa dia terus pengen aku pulang?" Ucapnya begitu lirih.

Kepalanya tertunduk lesu. Bibirnya kelu, tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan rasanya nafasnya pun tersendat. Hiperbola, seperti julukannya, mungkin memang cocok untuknya. Dan karena hal itu Ervin enggan membahas semuanya dengan saudaranya sendiri.

Ia hanya ingin Reno, namun disisi lain Ervin tak bisa egois, mengingat betapa tersiksanya sang kakak ketika berada di dekat dirinya. Yang dirinya sendiri pun tak mengetahui secara pasti apa alasannya.

"Maaf...," ucapnya.

***

"Bin."

"Apalagi? Gue udah bilang jawabannya ada dibuku semua, males banget mikir sih, otak dipake dong! Jangan kayak bintang laut yang gak punya otak!" seru Abi yang mulai jengah dengan tingkah teman-teman sekelasnya.

Sedangkan lelaki yang tak terima dengan ucapan Abi itupun mencibir pelan, "Pelit banget sih, dasar anak ambis." Dan hal itu masih mampu terdengar oleh telinga Abi, yang membuatnya mengamuk saat itu juga.

Ia berdiri dan mendorong meja dihadapannya dan dengan gesit mencengkeram kerah baju lelaki itu, "Pelit? Iya gue pelit soal nilai! Tapi bukan karena gue ambis. Gue udah capek-capek sampe pusing ngerjain itu semua sendirian, lo semua dengan gampangnya minta contekan! Susah dikit ngeluh, maunya nyontek! Emang dasarnya lo tuh bego!" teriak Abi tak tahan lagi.

Baby Reno [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang