Episode 9 || Apa Kabar?

42 21 1
                                    

Seharusnya gadis itu tahu jangan pernah kembali lagi ke masa lalu ataupun melihat ke belakang. Pada akhirnya ia sendiri yang sakit, bukan hanya sakit hati, sakit batin pun ada.

Sore ini, pukul tiga kurang dua menit. Ia berjalan sendirian lagi, ditempat yang sama saat sedang menunggu perempuan tua yang ia sebut sebagai Mama. Gadis itu berhenti, duduk disebuah kursi taman sambil mendengarkan musik menggunakan headphone berwarna putih.

Sebuah lagu yang membuat Elin semakin tenggelam dalam alunannya, lirik lagu yang menurutnya pas jika berada di luar ruangan. Elin melirik kesana kemari, sebuah Taman yang cukup ramai. Ada beberapa orang yang mengajak hewan peliharaannya berjalan-jalan, ada anak-anak yang sedang bermain bersama orang tua nya. Tidak hanya itu, Taman ini ramai karena menjual aneka makanan sederhana sampai tradisional, beberapa badut yang sedang melakukan aktraksinya, dan masih banyak lagi.

Mata Elin tidak sengaja melihat seseorang yang sangat ia kenali, seseorang itu seperti berjalan ke arah dirinya. Ia menyipitkan mata terus menatap kearah depan, semakin jelas wajah seseorang itu. Sekitar 2,5 meter dari tempat yang Elin duduki, ia berdiri dan melepaskan headphone miliknya, mengalungkan benda itu di leher.

"Mama.." Lirihnya dengan nada pelan, bahkan tidak terdengar. Seperti gumaman tanpa suara.

Sungguh tidak disangka, seseorang yang ia tunggu waktu itu bahkan sampai hujan turun dengan deras, tubuhnya basah kuyup. Namun, seseorang yang ia harapkan untuk datang tak kunjung datang. Tapi, ini sebaliknya, bahkan ia tidak mengharapkan kehadiran sang Mama hari ini.

Perempuan tua itu tersenyum kearah Elin. Wajahnya hampir mirip sekali dengan anak bungsunya.

Elin tidak membalas senyumannya, ia menatap anak kecil dengan tangannya yang sedang di gandeng oleh Mama nya. Seperti tatapan kecewa dan kebencian kepada Mama nya itu. Wanita yang dari dulu ia idolakan ternyata tidak pantas untuk ia idolakan.

"Apa kabar kamu, Elin?" Katanya memecahkan kelenggangan.

Elin mengangguk, "Baik, sangat baik, jauh lebih baik saat mama meninggalkan kita." Katanya dengan sarkas, sebenarnya ia tidak ingin mengatakan seperti itu tapi, hati nya sudah sangat terluka oleh Mama nya sendiri.

Mama terdiam sejenak, "Kamu sudah dewasa ya, sudah berapa tahun kita tidak bertemu?"

Pertanyaan yang sangat basi menurut Elin, sejak kejadian itu ia sudah tidak lagi merindukan Mama. Wanita kejam dan munafik, batinnya.

"Semenjak mama meninggalkan kita," jawabnya pelan.

"Kamu tidak merindukan mama?"

Elin menggelengkan kepala, "Engga, dulu iya, semenjak mama berbohong sama aku bilang mau bertemu di tempat ini tapi ga dateng-dateng aku mulai gak rindu mama, aku mulai sadar kalau mama memang sejak dulu itu pembohong."

"Maaf, nak. Kamu pasti tahu alasan mama meninggalkan kalian."

Gadis itu tertawa hambar, ia tahu.

Bagaimana mungkin seorang Ibu meninggalkan anaknya demi kebahagiaan sendiri? Bahkan kejadian yang sangat jarang di dunia ini kalau seorang Ibu meninggalkan keluarganya, kenyataannya yang lebih sering terjadi orang tua laki-laki yang meninggalkan keluarganya, mungkin.

"Mama rindu kakak-kakak kamu, bagaimana kabar Rebecca, Djanu, dan Prajaska?"

"Mereka semua baik, bahkan A'a Pras sudah bahagia." Elin terdiam, ia sudah tidak sanggup dihantam pertanyaan yang sangat kaku oleh Mama.

"Kamu membenci Mama, El?"

Elin menggeleng, "Engga, aku kecewa bukan benci."

"Jangan pernah merindukan mama lagi ya, nak? Kamu sudah bahagia dengan kehidupan sekarang, mama juga sudah bahagia dengan keluarga baru mama. Tapi, jika kamu membutuhkan mama, mama pasti ada. Mama masih sayang kalian."

Mengapa Harus Hujan [BERSAMBUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang