Dengan langkah yang agak diseret, Jaeyun membawa tungkainya menyusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang berlalu-lalang. Ia baru saja menyelesaikan interview untuk kesekian kali. Kali ini pun, sebenarnya Jaeyun tidak mau terlalu berharap, karena sudah kesekian kalinya, ia selalu gagal saat tahap wawancara. Padahal saat wawancara reaksinya sangat bagus, tapi, ya, dirinya selalu gagal hanya karena gender kedua miliknya.
Tidak adil?
Memang.
Bahkan bagi Jaeyun itu benar-benar alasan tidak jelas. Kalau benar karena gender keduanya, kenapa tidak saat melakukan pemeriksaan berkas saja dirinya gagal. Kenapa harus sampai tahap wawancara? Sudah membuat harapannya naik, lalu dihempas begitu saja dengan alasan tidak jelas. Menghabiskan ongkos pula.
Jujur saja, dirinya benar-benar tidak mengerti; memangnya apa yang salah terlahir sebagai seorang Omega?
Dari kecil, dia sama sekali tidak paham dengan konsep hirarki yang ada di dunia ini. Bahkan sampai ia mendapatkan hasil pemeriksaan sebagai seorang Omega di usianya yang ke delapan belas―iya, dirinya seorang late bloomer―alih-alih bisa mengerti, dia justru semakin tidak bisa memahaminya. Yang dia tahu; dunia ini terlalu kejam untuk Omega dari sudut pandangnya.
Delapan belas tahun hidup sebagai seorang Beta―dia menganggap dirinya sendiri seorang Beta sampai tiba-tiba dia mendapatkan heat pertamanya di ulang tahunnya yang ke delapan belas―tentu saja tiba-tiba mendapatkan semua perubahan yang ada pada hidupnya membuatnya syok bukan main. Dari perubahan fisik bahkan hingga staminanya yang kian melemah―padahal sebelumnya, dirinya adalah manusia yang aktif di bidang olahraga dan segala kegiatan klub di sekolah, namun kini bahkan sekedar berlari saja rasanya dia sudah lelah―hingga sampai perubahan sikap sang Ayah padanya.
Dulu saat ia belum digolongkan sebagai bagian dari Omega, Jaeyun benar-benar terlena dengan cerita Omega yang dilihatnya dari setiap buku fiksi yang dibaca. Meski lemah, Omega itu selalu digambarkan sebagai sebuah bentuk keindahan. Seperti sebuah Seni yang harus dilindungi lantaran mudah rusak. Dia pikir, setiap Alpha selalu diajarkan untuk melindungi yang paling lemah di kelompoknya. Tapi, nyatanya?
Tidak semuanya seperti demikian. Termasuk Ayahnya.
Di heat pertamanya, Ayahnya langsung menjodohkannya dengan seorang Alpha anak dari kolega. Ah, alih-alih disebut dengan perjodohan, lebih tepatnya, Ayahnya sengaja mengunci dirinya bersama dengan Alpha itu di kamar. Seperti mencoba mengawinkan dua kucing yang tengah birahi. Bahkan, Jaeyun benar-benar ingat, bagaimana dirinya memberontak saat ia nyaris diperkosa oleh Alpha itu―yang bahkan kalau mengingatnya sampai sekarang membuat Jaeyun merasa mual. Dia memang di bawah pengaruh heat, tapi akal sehatnya tidak sepenuhnya hilang. Yang kemudian membuatnya lantas kabur melalui jendela dan bersembunyi di walk in closet sang Kakak dengan tubuh yang babak belur karena mencoba melompat dari balkon kamarnya ke balkon Kakaknya.
Dan, tentu saja, keesokan harinya dengan tubuh yang masih lemah, dia harus terkena damprat dari sang Ayah. Bahkan tidak hanya sekedar cacian dan makian yang diarahkan padanya, dia juga mendapatkan beberapa pukulan pada tubuhnya.
Jaeyun benar-benar tidak mengerti. Dirinya tidak paham. Kenapa Omega dianggap sangat rendah sekali di mata mereka yang terlahir sebagai seorang Alpha?
Dia tidak membenci Alpha. Alih-alih membenci Alpha, Jaeyun justru membenci hidupnya sendiri. Kenapa bisa-bisanya dia berekspetasi hanya dari sebuah buku fiksi yang pernah dibacanya?
Ah, tapi kendati demikian, sampai sekarang pun ia masih menikmati cerita-cerita fiksi itu―karena kini dia tahu, cerita fiksi semakin asik dinikmati saat ceritanya benar-benar berbanding terbalik dengan realita yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Bloom [SungJake]
FanfictionShim Jaeyun hanyalah seorang Omega resesif yang membenci hidupnya. Dia Omega, tapi dia cacat. Dia Omega, namun baginya tidak ada keindahan apapun pada dirinya. Dan saat ia sudah memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri, dirinya justru ditolong oleh se...