"Pak Direktur, tolong lepasin tangan saya!"
Sunghoon secara spontan melepaskan cengkraman tangannya dari pergelangan tangan Jaeyun saat menangkap protes dari sang Omega. Ia menoleh dengan khawatir, namun melihat sebilah pisau yang berada di dalam genggaman Jaeyun, matanya sukses membeliak. "Kamu ngapain bawa-bawa pisau!?"
Bola mata Jaeyun refleks bergulir melihat ke arah tangannya sendiri yang masih memegang pisau dapur. Ia kemudian hanya mampu mendesah lelah. Setelah menaruh kotak kardus yang diberikan Ahn Joonseo tadi ke atas mejatama, ia memang sempat menaruh pisaunya bersamaan dengan kotak itu. Namun tangannya kembali mengambil sebilah pisau yang masih ia gunakan itu. Berniat kembali melanjutkan pekerjaannya―memotong wortel dan sayuran lain untuk persiapan bekal makan siang seseorang. Tapi, tiba-tiba saja, sang Direktur Park yang terhormat satu ini masuk. Memeluknya. Lalu menyeretnya keluar dari dapur tanpa penjelasan apapun.
Dan, di sinilah mereka. Di lorong kafetaria yang masih sepi.
Pandangan Jaeyun kembali jatuh pada sosok Direktur muda di hadapannya. Kedua alis miliknya mengerut tidak terima dan bibirnya mengerucut dengan lucu, tanda protes. "Pak Direktur yang tiba-tiba narik saya keluar, udah tau saya lagi kerja! Emang Bapak mau bicarain apa sama saya sampe harus keluar dari dapur? Pak Direkur punya rikues buat makan siang? Atau, Pak Direktur siang ini ada rapat jadi saya nggak perlu masak?"
"Saya butuh kamu ikut saya," sahut Sunghoon cepat, "Kita makan siang di luar hari ini."
Jaeyun hanya bisa menatap Alpha di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Bisa-bisanya tadi setelah mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang-orang salah paham, menyeretnya keluar dari dapur, dan sekarang dengan entengnya Alpha satu ini mengajaknya makan di luar saat masih jam kerja seperti ini.
Apa Direktur Park yang satu ini memang selalu bersikap sesuka hati seperti ini?
Atau, sebenarnya Alpha satu ini memang masih mabuk hingga berbicara omong kosong lantaran belum sadar sepenuhnya dengan apa yang diucapkan?
"Pak Direktur, ini masih jam kerja." Jaeyun mencoba memperingatkan. Matanya melirik pada jam dinding yang ada di kafetaria sebelum kembali menatap iris kopi pekat yang ada di depannya dengan lekat. Kedua alisnya kini sudah menukik tajam, menunjukkan protes ketidaksetujuan. "Saya masih harus nyelesain pekerjaan saya sebelum jam makan siang di mulai. Saya sibuk. Pak Direktur juga pasti sibuk, kan?"
"Kamu tau, saya juga sudah pasti sibuk, Sim Jaeyun." Sunghoon menarik napas lalu mengembuskannya. "Saya ngajak kamu keluar, soalnya ada sesuatu yang harus saya diskusikan tentang pekerjaan kamu. Anggap aja sekarang kamu ikut saya sebagai tugas keluar."
Jaeyun hanya bisa pasrah. Mana bisa ia membantah saat sorot mata pria bermarga Park ini sudah menunjukkan keseriusan seperti itu. Terlebih dirinya cukup takut saat seseorang yang akrab dengannya tiba-tiba memanggilnya dengan nama lengkap seperti itu. Aneh. Tidak terbiasa. Terlebih kalau orang itu Sunghoon―yang selalu memanggilnya dengan berbagai macam nama panggilan.
"Tapi, bisa tunggu sebentar? Saya mau―"
Perkataan Jaeyun terhenti saat tangan Sunghoon terlebih dahulu dengan hati-hati mengambil sebilah pisau dari dalam genggamannya. Pandangan matanya kini jatuh pada tangan besar sang Direktur muda yang mencoba membungkus mata pisau dengan sapu tangan sebelum menyelipkannya ke dalam saku jas.
"Pak―"
"Nanti taruh di dashboard aja. Sekarang saya yang bawa dulu," sela Sunghoon dengan cepat. "Kalo kita balik sekarang, bisa-bisa ketemu Ahn Joonseo lagi. Saya males harus berurusan sama dia."
Mendengar nama Ahn Joonseo disebut oleh Sunghoon membuat Jaeyun tercenung. Mengingat kembali perkataan Joonseo dan juga Sunghoon di dapur tadi. Dari konversasi yang terjadi di antara keduanya, Jaeyun berani menyimpulkan; Sunghoon dan penyiar televisi bernama Ahn Joonseo itu dijodohkan. Hanya saja sang Alpha lautan satu ini menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Bloom [SungJake]
FanfictionShim Jaeyun hanyalah seorang Omega resesif yang membenci hidupnya. Dia Omega, tapi dia cacat. Dia Omega, namun baginya tidak ada keindahan apapun pada dirinya. Dan saat ia sudah memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri, dirinya justru ditolong oleh se...