Pandangan Rio menyorot tajam pada sosok pria menyebalkan yang saat ini asik mengayunkan stick golfnya. Rupanya Ken memiliki lapangan golf sendiri, gila, pria itu kaya sekali. Sejujurnya jenis olahraga ini bukan tipenya Rio, ia lebih suka lari keliling lapangan ketimbang memukul bola kecil seperti yang dilakukan Ken. Setidaknya Rio sudah berdiri lebih dari dua jam hanya untuk menemani Ken bermain golf.
Rio tak diizinkan duduk meskipun ada ruang tunggu yang menganggur. Ia juga tak diberi izin minum sebelum Ken meneguk minumannya, sialan sekali peraturan ini. Akhirnya penderitaan Rio berakhir, sebab dari jarak lima belas meter terlihat Ken mulai berjalan mendekatinya sambil melepas kedua sarung golf yang ia pakai.
"Keparat itu sudah selesai rupanya, terimakasih Tuhan." Rio bergumam pelan, kemudian langsung memasang wajah ramah dan menunduk sebentar untuk menyambut Ken.
"Mau coba?" Ken langsung menyodorkan stick golf yang ia bawa tadi. Wajahnya lebih santai, tidak ketus seperti biasa. Ada beberapa titik keringat di wajahnya, dan juga ada seni baru pada rambut Ken; tatanannya lebih acak, lebih keren.
Rio tidak menyukai golf, bukan hanya karena permainan ini tak jelas. Tapi dirinya juga buta untuk melakoni olahraga ini. Memangnya karyawan biasa mana yang mau mengalokasikan pendapatnya hanya untuk bermain golf. Rio tau betapa mahalnya olahraga ini. Jadi saat Ken menawarinya bermain, ia menolak.
Ken tampak menaikkan sebelah alis matanya sambil menatap Rio lebih lekat. "Kau serius?" ulangnya lagi. Lalu Rio mengangguk dengan maksud membenarkan.
"Jadi olahraga apa yang kau suka?" Ken bertanya lagi, sementara stik golfnya langsung ia simpan. Tak ada gunanya menawarkan sesuatu bukan pada tempatnya, begitu pikir Ken.
Dengan ragu dan gugup Rio membuka suara, "aku suka lari," katanya.
Ken mengangguk pelan, "oh, bagus juga."
"Iya."
Setelahnya Rio tak memperhatikan apa yang dikerjakan Ken, pria itu emang aneh. Dan sekarang Ken kembali sambil menenteng sebuah stopwatch. Rio memicingkan matanya sedikit sembari memikirkan kegiatan apa yang sedang direncanakan Ken.
"Sana lari keliling lapangan ini, waktunya 15 menit."
Kedua bola mata Rio membulat terkejut, diliriknya lapangan golf yang panas itu sambil menggeleng pelan. "Ap? Lari? Ini jam sebelas pagi Ken." Rio menolak.
"Masih pagi, katanya suka lari."
"Ken... Matahari sudah tinggi."
"Ya terus kenapa? Aku dua jam di lapangan oke-oke aja."
Sialan sekali Ken, rasanya Rio ingin menendang wajah pria itu. Rio diam sesaat sementara suhu udara dan terik matahari semakin tinggi, tidak dianjurkan untuk berlari dengan panas yang mulai menyengat ini. Lalu Ken yang tak sabar langsung menekan tombol start pada stopwatchnya hingga terdengar bunyi bip, akhirnya mau tak mau Rio menerjang panas dan berlari mengelilingi lapangan.
Kebugaran tubuhnya sedang payah semenjak dipusingkan dengan kasus Helma. Rio sudah tidak memusingkan olahraga lagi. Dulu setidaknya ia memanfaatkan pagi untuk joging, tapi sejak pekerjanya semakin berat, ia meninggalkan kebiasaan itu. Alhasil saat ini sekujur lututnya keram, terasa kaku dan nyeri.
Ken bisa melihat penderitaan Rio yang menahan sakit itu, tapi pria itu tak membuka mulut barangkali mengatakan kata semangat atau apa pun yang membuat Rio terhibur. Ken hanya berdiri di bawah kanopi dekat ruang istirahat sambil meneguk minuman ion. Setiap kali Rio melewatinya, ia hanya membacakan sisa waktu yang tersedia.
Rio berada di ujung lapangan dengan napas tersengal-sengal, disekanya keringat yang membanjiri sekujur wajah. Degung jantung yang berdetak lebih cepat membuat Rio semakin kelimpungan. Tubuhnya panas, kakinya nyeri, jantungnya bergemuruh, napasnya tersengal-sengal.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EXECUTION | TAEKOOK - COMPLETED
FanfictionRio tak menyangka bahwa dirinya menjadi tersangka utama dari kematian sahabatnya. Gadis bernama Helma itu membunuh dirinya sendiri akibat kekacauan besar yang mereka sebut sebagai 'kesalahan Rio'. Keadaan yang kemudian membawa hidup Rio pada banyak...