Harusnya Rio mengerti bahwa hidupnya sudah kacau sejak berada dalam jeruji abstrak milik Ken. Tidak ada pagi, siang, atau malam yang normal lagi, selalu saja ada hal baru yang menyengsarakan. Dan pagi ini terjadi lagi, Ken tiba-tiba merebut ponsel milik Rio lalu menghempas kasar hingga benda pipih itu terpisah menjadi beberapa bagian.
Seketika Rio membeku di tempat, kejadian yang hanya beberapa detik tapi berhasil merusak benda berharganya. Hanya benda itu yang bernilai bagi Rio saat ini. Dengan keadaan tanpa pemasukan, tentu Rio kelabakan menyaksikan kejadian bringas yang mengorbankan ponselnya.
Rio mendekat dengan langkah gemetar, ia hendak marah tapi atensinya saat ini tak dibenarkan untuk marah meskipun keadaannya benar-benar menganggu. Rio merendahkan tubuhnya untuk meraih potongan dari ponsel miliknya yang sudah tak berfungsi lagi. Kepalanya mulai ribut membayangkan kekacauan yang lebih jauh lagi dalam setelah ini.
"Ken? Apa ini? Kenapa dilempar?" Suara Rio serak, ia hampir menangis.
Tapi Ken yang angkuh itu tak menunjukkan rasa bersalah. Ia justru bersedekap dada sambil menatap rendah benda yang Rio tangisi. "Jangan cengeng, Rio. Ponselmu rusak bukan berarti hidupmu juga rusak."
"Hidupku berbeda dengan hidupmu." Kalimat itu Rio utarakan dengan nada datar, ia menatap lurus ke arah Ken.
"Oh ya? Kau membicarakan hidup sekarang?"
Rio tak tahan, dengan sisa kesabarannya ia bangkit untuk menerjang tubuh Ken. Kali ini ia melunturkan ketakutan yang selama ini mengikat emosinya. Dengan tangan kosong dan amarah yang membumbung, Rio mendorong Ken sampai pria itu beradu dengan dinding kamar.
Ada kobaran api kemarahan di mata Rio, meksipun bola matanya basah, tapi tatapannya tajam dan menuntut. "BANGSAT! MAUMU APA HAH? AKU PERLU ITU UNTUK MENGHUBUNGI AYAHKU, MAMAHKU SUDAH MATI! MAMAHKU SUDAH MATI! AKU PERLU BERBICARA DENGAN LAURA! SIALAN KAU!"
Begitu kalimat panjang itu Rio selesaikan, Ken langsung membalas dengan menarik Rio hingga pemuda itu yang bersandar di dinding kamar. Keadaan sudah berbalik, Ken yang kini mendominasi. Ia menatap sosok Rio yang mulai gemetar itu dengan wajah ketus, lengkap pula dengan ujung bibir yang sedikit terangkat.
Rio terlalu mengamati ekspresi wajah Ken, sampai tak menyadari jika telapak tangan pria itu sudah melingkupi lehernya. Beberapa detik kemudian Rio berteriak, lehernya dicekik mendadak. Sontak ia meraih genggaman Ken yang menyiksa lehernya sambil berusaha membebaskan serangan mendadak itu.
Kaki Rio mulai menendang-nendang bagian depan, beberapa kali menyentuh kaki Ken, tapi pria itu tak terganggu. Cekikan di leher Rio semakin erat, membuat rongga dadanya sesak bukan main. Rio pikir hidupnya berakhir detik ini juga dalam cekikan Ken, ia sudah membayangkan jika tubuhnya jatuh tersungkur di lantai, lalu dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti mati. Sebab pandangannya kini mulai berkunang-kunang, dadanya semakin sakit, telinganya seperti berdengung. Tapi kematian tak menjemput Rio saat ini, ia masih diberi kesempatan hidup bersamaan dengan cekikan Ken yang melonggar.
Rio menangis begitu tubuhnya meluruh ke lantai. Lehernya sudah terbebas, menyisakan rasa nyeri dan sakit. Rio tak berani mendongakkan kepala untuk beradu tatap dengan Ken. Ia sudah hapal tatapan apa yang akan diterima, dan Rio muak sekali. Tetapi Ken memang senang membuat Rio menderita, pria itu sendiri yang mendekat dan turut merendahkan tubuhnya.
"Kesepakatan apa yang kau buat dengan Ivana?"
Suara itu terdengar berat, dalam, dan penuh intimidasi. Tanpa melihat pun Rio sudah tau jika wajah Ken kini berada tepat di depannya. Ia bisa merasakan hembusan napas pria itu. Rasanya Rio ingin pingsan detik ini juga.
"Jawab aku! Gunakan mulutmu."
Rio menggelengkan kepala. Tak cukup berani mengakui kesalahannya. Tidak, saat ini bukan sekedar tak berani, ia juga khawatir Ivana ikut terbawa-bawa, lalu Ken turut menyeret gadis itu untuk meluapkan emosinya. Pria ini kan memang gila dan tempramental.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EXECUTION | TAEKOOK - COMPLETED
FanfictionRio tak menyangka bahwa dirinya menjadi tersangka utama dari kematian sahabatnya. Gadis bernama Helma itu membunuh dirinya sendiri akibat kekacauan besar yang mereka sebut sebagai 'kesalahan Rio'. Keadaan yang kemudian membawa hidup Rio pada banyak...