Lantai rumah sakit selalu dingin, seperti terbuat dari marmer, padahal bukan. Lantai-lantainya sekadar gabungan ratusan ribu lusin keramik yang disusun rapih, tak cukup istimewa, hanya mengandalkan keharmonisan warna putih. Benar, bangunan itu dimana pun tempatnya selalu didominasi oleh warna putih. Padahal orang-orang sakit di dalamnya perlu hiburan, setidaknya mereka perlu melihat warna lain.
Lantai rumah sakit selalu dingin, seperti suasana hati orang-orang yang menginjakkan kaki mereka di tempat itu. Bukan hanya cat yang minim warna, ekspresi pengunjungnya juga minim warna. Katanya rumah sakit seperti sisi lain kehidupan. Di luar sana, manusia bisa berjalan, berlari, dan mengerjakan banyak hal normal. Tetapi di tempat ini, ada manusia yang jangankan berjalan atau berlari, untuk membuka mata saja sulit.
Seperti ada bias, perbedaannya kontras. Kata orang juga rumah sakit seperti tempat penghukuman. Ada banyak manusia yang menjemput dosa mereka di tempat itu. Ada banyak pelaku kejahatan dan pendosa yang berakhir tragis di sana. Dan ada juga sekelompok manusia baik yang bernasib buruk di
bangsalnya, tidak semua dari mereka adalah pihak yang mendapat hukuman, tetapi sebagai perantara hukuman bagi orang terdekatnya.Keluarga mereka entah yang baik atau jahat ikut berduka. Mereka yang tak pernah bersimpuh berdoa kepada Tuhan, berubah menjadi ahli ibadah, menangis tersedu meminta pertolongan dan keajaiban. Bahkan kelompok yang tak punya agama pun ikut berdoa, akhirnya mereka mengingat nama Tuhan dalam kehidupan sibuk mereka.
Seperti yang dilakukan Ken pagi ini, masih pukul delapan pagi tapi ia sudah berdiri tegap menghadap rosario besar di sebuah geraja dekat rumah sakit tempat Rio dirawat. Ken berdiri tepat menghadap salib itu, salah satu telapak tangannya menyentuh dada, tatapan matanya kian melunak.
"Tuhan, maaf. Aku jarang melihatmu, abaikan saja semua angan-anganku yang lain. Tapi... Untuk yang satu ini, tolong kabulkan."
Ken berbicara sendiri dengan suara pelan, tatapannya masih fokus ke depan, tanda bahwa pria ini serius dengan ucapannya. "Aku berdoa bukan untukku," katanya melanjutkan. Kemudian diam sebentar, "aku berdoa untuk salah satu pengikutmu yang baik," sambungnya.
"Dia sakit. Angkat rasa sakitnya, sembuhkan dia Tuhan. Beri dia keajaibanMu, datangkan kehidupan yang baik untuknya."
Ken diam lagi, tersadar dengan kalimat panjangnya yang barusan diucapkan. Selama ini bicaranya irit, tak mau merendah atau memohon. Pun di waktu kematian ibu dan adiknya, Ken tak berdoa sedramatis ini. Apa yang merasukinya sampai bisa menyampaikan permohonan sepanjang dan setulus itu?
Tapi Ken tetap melanjutkan kalimat permohonannya, ada banyak doa yang hanya diberikannya kepada Rio. Setiap kalimat yang terucap, hanya mengutamakan kesembuhan Rio. Ia bahkan tak mendoakan mendiang ibu atau adiknya. Ken juga tidak tau kenapa kakinya bisa ringan langkah mendatangi tempat ini, lalu lidah malas berdoa itu malah bisa mengutarakan banyak kalimat doa.
Pria itu tak menunjukkan kekesalan dari keputusannya berdoa lagi ini. Ken justru merasa hatinya lebih tenang, sedikit, setidaknya ada rasa lega yang meksipun tak bisa diutarakan. Sehabis berdoa, Ken mendatangi beberapa pengurus gereja yang mulai membersihkan ruangan itu. Ia mendekati salah satunya.
"Permisi, selamat pagi. Maaf, saya bertanya sedikit, bisa minta waktunya sebentar?"
Pelayan itu seorang pria tinggi berwajah putih bersih, pandangannya teduh, ia mengangguk pelan lalu membungkukkan badan hormat begitu menyadari setelan pria yang berbicara dengannya. "Selamat pagi tuan, apa sekiranya yang ingin tuan sampaikan?"
Ken diam sebentar, kelembutan tutur kata pemuda ini menghamburkan fokusnya. "Begini..." Ken berusaha santai. "Apakah yayasan ini menerima donasi?"
"Donasi? Tentu ada! Tapi hari ini Humas kami ada agenda dari kemarin. Kalau berkenan, bisa meninggalkan kartu nama saja? Nanti kami hubungi kembali. Tuan bersedia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EXECUTION | TAEKOOK - COMPLETED
FanficRio tak menyangka bahwa dirinya menjadi tersangka utama dari kematian sahabatnya. Gadis bernama Helma itu membunuh dirinya sendiri akibat kekacauan besar yang mereka sebut sebagai 'kesalahan Rio'. Keadaan yang kemudian membawa hidup Rio pada banyak...