Chapter 3: Serendipity

53 29 29
                                    

Tengah malam, Rhyne duduk termangu di ruang tengah. Pandangannya tak lepas dari laptop didepannya yang menampilkan poster event nubar antologi puisi bersama Id. Sastra,  komunitas menulis online dari Purwakarta. Sejam yang lalu ia mendapat pesan singkat dari Meisya, sahabatnya itu bilang tema yang sedang diselenggarakan panitia komunitas Id. Sastra sangatlah cocok dengan perasaan Rhyne. Barangkali Rhyne bisa menghasilkan sesuatu dari rasa sedihnya itu, dari patah hati menjadi royalti. Jika tidak dicoba, tidak ada yang tahu bukan?

Rhyne menatap layar ponselnya dengan gusar. Ia sedang menunggu balasan pesan dari Shaga. Rhyne tidak bisa berbohong pada dunia jika gadis itu masih sering menanyakan kabar Rey lewat Shaga saja. Ia masih bimbang, apakah keputusan yang sering ia perdebatkan dengan Shaga di setiap malamnya itu soal Rey adalah pilihan yang terbaik_untuk memblokir semua sosmed Rey agar dirinya tidak perlu bersinggungan lagi?

Reynaldi Wicaksono. Tidak ada apa-apa yang perlu diperbincangkan lagi. Rhyne selalu menunggu, kata-kata penenang dari Rey-nya. Kalimat-kalimat manis yang meminta Rhyne untuk tetap tenang menyikapi keegoisan mereka berdua, janji kecil seputar asa untuk beberapa tahun mendatang atau sekedar ... pernyataan yang meyakinkan bahwa mereka akan selalu bersama, bahwa cowok itu akan berusaha keras menepati janjinya.

Belakangan ini Rhyne merasa sekotak pesan di layar ponselnya dengan nama yang ia sematkan itu sudah lama tanggal. Hambar tapi tak memungkiri bahwa dirinya masih ada rindu. Rindu Rey. Notifikasi pesan dari orang lain bagaikan sapaan selamat tinggal. Sesekali Rhyne mengabaikan suara dering notifikasi ponselnya, untuk meminimalisir meledaknya rindu yang bisa kapan saja meminta jawaban dari segunung pertanyaan yang membuatnya sesak.

"Aneh, aku merasa nyaris gila pada hilangnya sesuatu yang sedari awal tak ku genggam" gumam gadis itu.

"Arghh!! Sialan!!! Dia belum tentu mikirin perasaan kamu, Rhyneee ... stop meratapi keterasingan ini!" Rhyne ngedumel sembari memukuli kepalanya karena kesal.

Rhyne merintih sakit. Tangannya gemetaran setelah sadar apa yang barusan ia lakukan.

"Hilang mu jadi bingungku. Dan pergi ku jadi bebas mu, bukan?" tanyanya pada seseorang yang entah. "makanya kamu nggak nyariin aku lagi. Hhh, kita emang sebeda itu"

"Nggak tidur, Mbak Rhyne?" sebuah pertanyaan dari arah belakang mengagetkan Rhyne, membuat gadis itu menolehkan pandangan. Jam dinding menunjukkan angka setengah 12, belum ada tanda-tanda Rhyne mengantuk. Menguap saja pun tidak.

"Kamu ish, ngagetin Mbak aja, Han!"

Hani, salah satu si kembar sepupunya itu duduk disampingnya Rhyne dan menawarkan semangkuk mie instan buatannya.

"Eh? Kamu masak? Kok nggak kedengeran ya?" tanya Rhyne. Sungguh, dirinya sejak tadi merasa tidak ada suara apapun yang membuyarkan lamunannya. Rhyne yang ditawari pun menyicipinya.

"Mbak Rhyne terlalu ngelamun sih, mikirin sesuatu yang nggak penting. Nggak fokus, kan, jadinya?"

Rhyne terdiam. Tidak ingin menggubris perkataan sang adik yang masih SMP itu. Jika disanggah, akan semakin menjadi-jadi cerewet nya, cerewet karena peduli.

"Mbak tuh, janganlah terlalu mikirin cowok. Mbak mending fokus aja sama apa-apa yang Mbak pengen sekarang ini, apa-apa yang buat Mbak bahagia. Apapun yang jadi impian Mbak Rhyne selama ini, semua orang yang sayang sama Mbak pasti dukung, kok!" ucap Hani setelah menyuapkan sesendok mie instan kedalam mulutnya. Anak itu jarang makan nasi namun lebih sering makan mie instan. Tidak jauh beda dengan Kakak kembar nya, Hana.

Rhyne tersenyum. Ia bersyukur masih memiliki orang-orang yang membuatnya percaya pada dirinya sendiri, bahwa serumit apapun perasaannya ia harus mengedepankan masa depannya. Ia harus bisa menetralisir perasaannya untuk tidak berlebihan terhadap sesuatu.

Beautiful Feeling ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang