Chapter 10: Ruang

53 4 20
                                    


Dalam hidup memang ada beberapa sakit yang belum benar-benar sembuh. Barangkali hanya sudah menerima, untuk kemudian akan terbiasa lalu pada akhirnya menyadari bahwa lukanya masih terus terbuka.

°°°

"Jadi ... kapan Ibu pergi?"

Ada yang familiar dari melihat lekuk wajah ayahnya dengan jarak sedekat ini. Rhyne meminta ayahnya duduk bersebelahan di kursi ruang tamu setelah pria berkepala lima itu pulang dari rumah tetangga sebelah.

Rhyne jarang melakukannya tapi gadis yang menggelung rambutnya asal itu masih ingat wajah yang sama setiap kali ayahnya menyembunyikan sesuatu. Sediam apapun ayahnya saat dunia bergemuruh, putrinya itu bisa merasakan sendu menahun di relung hati. Mungkin itu sebabnya Rhyne terlalu peduli kepada diamnya seseorang, karena bercermin pada dirinya sendiri bahwa diam memiliki sejuta makna.

Ayah dari satu anak yang jarang berinteraksi dengan keluarganya itu seolah memiliki rahasia yang tak tersentuh oleh siapapun. Menangis, tertawa, marah atau ketakutannya selalu menjadi rahasia yang hanya separuh porsi saja dibagikan kepada dunia, sisanya disimpan entah kemana.

Lalu Rhyne, setiap akhir pekan mengobservasi tentang diamnya seorang ayah terhadap apa-apa yang terjadi pada putrinya, kepada diam yang tak pernah memihak kemenangan antara anak atau istri saat terjadi keributan.

Seperti kata yang terlalu panas dan jemu, bungkam di tengah luka yang terbuka adalah suara lain yang tak bisa di bantah oleh siapa-siapa.

"Yah? Is everything okay?"

Pria yang kerap dipanggil Aji itu mengangguk singkat. Tidak ingin berpanjang kata. Mereka diam untuk beberapa saat, meski dalam benaknya gadis itu Rhyne inginkan pertanyaan yang keluar dari mulut ayahnya sebagai suatu kepedulian.

Rhyne kenapa pergi dari rumah nggak bilang ayah? Ada yang mau diceritain? Apa yang Rhyne rasain waktu memutuskan untuk pergi dari sini?

"Rhyne mau cari Ibu? Makanya Rhyne balik ke sini?"

Dua pertanyaan dari Aji memecahkan hening. Ada dua kemungkinan untuk Rhyne menjawab pertanyaan itu. Pertama; dia akan berbohong pada ayahnya kalau gadis itu rindu rumah, atau kedua; gadis itu tidak bicara apapun.

"Kenapa harus?"

"Kenapa harus ayah yang diam dan nggak mengambil keputusan apapun?"

Oke, skakmat. Berarti Rhyne sedang tidak baik-baik saja.

Ruangan tiba-tiba terasa pengap, meski kipas angin di sudut sofa tempat mereka duduki menerpa tubuh mereka. Mungkin, karena ada sesuatu yang ingin diledakkan di benak mereka namun tertahan oleh ego masing-masing.

Aji tidak menjawab, hanya menatap wajah putrinya itu tanpa ekspresi apapun.

Setenang inikah ayahnya ketika dirinya mencoba menghalau tembok bungkam yang tinggi itu?

"Ibu pergi karena urusan pekerjaan, Rhyne. Bukan karena hal lain"

"Setelah ini, nggak ada lagi Rhyne yang pergi dari rumah tanpa bilang apa-apa ke ayah"

Rhyne menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ayahnya itu masih tanpa ekspresi apa-apa, membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Rhyne sedikit meremang. Akhirnya gadis itu bangkit dari kursi ruang tamu, melangkah ke dapur. Berniat membuat minuman.

Dulu waktu masih SD, dapur selalu menjadi tempat favorit Rhyne untuk mengeksplorasikan dirinya dengan memasak bersama nenek Yumi. Rhyne senang membuat aneka makanan bersama sang nenek, di rumah neneknya pula. Kalau ditanya alasannya apa, satu-satunya pembenaran karena gadis itu tinggal bersama neneknya mulai kelas empat hingga lulus SD. Orangtuanya waktu itu tidak begitu sibuk, tapi entah kenapa Rhyne nyaman tinggal di rumah sang nenek dibandingkan dengan rumahnya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beautiful Feeling ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang