Chapter 9: Ketika Berhenti Di sini

49 8 26
                                    


"Gimana Rhyne? Perasaannya udah enakan? Udah tenang?" tanya Bu Anjani yang baru saja keluar dari ruang BK. Pak kepsek sengaja mengundurkan rapatnya dengan para guru, di karenakan beberapa guru ada yang sakit. Bu Sisca, Pak Anis dan Pak Herlambang mendadak ada urusan diluar kota.

Suasana di ruang kepala sekolah itu terasa canggung. Terlebih dua manusia yang sedang berhadapan setelah bermenit-menit yang lalu saling lempar opsi perihal mendramatisir keadaan, Langit dan Rhyne saling diam.

Pak Hatta dan Bu Anjani meninggalkan mereka berdua di sebuah ruangan yang tidak bersekat, dua lemari berisi berkas-berkas sekolah itu menghubungkan ruang administrasi yang dipegang oleh Pak Herlambang dengan tempat yang mereka duduki.

Setengah jam yang lalu, mereka bergelut dengan isi pikiran masing-masing—dengan Pak Hatta sebagai penengah dan Bu Anjani sebagai moderator. Dan sebagai seseorang yang tidak suka berdebat, Rhyne akhirnya kalah.

Kau tahu bagian mana yang menampar gadis itu? Ialah ketika apa yang laki-laki itu katakan disetujui oleh Rhyne. Laki-laki itu menjelaskan banyak hal dengan tegas dalam intonasi suara yang tenang. Meski Rhyne sempat terisak, gadis itu secepat kilat memposisikan diri.

"Udah, Bu. Alhamdulillah" jawab Rhyne.

"Masih jam setengah sepuluh, Yah, gimana? Kita jadi ngomong sama Rhyne-nya nih?" tanya Bu Anjani ke suaminya.

"Itu Adi sama Langit sudah ada di sini, kenapa nggak sekalian aja?"

"Ya udah ayo, kita keluar nyari angin. Nyari tempat yang nyaman dan menyegarkan otak buat ngobrol" usul Bu Anjani.

"Nyari makan siang juga dong, Bun, kalau makan angin dapatnya kerokan" Pak Hatta berkelakar sembari tersenyum lebar.

"Ya udah, ayo keluar!"

-

"Kamu pernah nyangka nggak sih, Rhyne, kalau kita berhenti di sini, di tempat ini ... diem di tempat," untuk satu detik singkat alis Rhyne terangkat sedangkan Langit mendengus kesal melihat sekeliling "apakah kita bisa ngelakuin hal-hal besar? Nggak akan bisa, kan?" laki-laki itu bertanya kepada Rhyne sembari memilah dua buku yang hendak di belinya. Sedangkan Rhyne, gadis itu berusaha untuk tidak terlihat nanar kala menatap di sekelilingnya. Ia tidak ingin orang lain tahu pikirannya yang sedang berkelana memikirkan hal lain.

Seperti sebuah kalimat dari seorang penyair—sang idolanya yang menuliskan; 'kau tahu apa yang paling lucu dari manusia? Mereka bisa ada dan tiada di tempat yang sama. Kau akan melihat raganya, senyumnya, tatapannya namun entah hatinya di mana ...'.

Seperti itulah Rhyne.

Tidak ada emosi di raut wajah lelaki yang lebih tua darinya itu membuat Rhyne merasakan sensasi berbeda. Tidak bersikap dingin, hanya sekedar tatapan yang tenang dengan binar kedua matanya yang tajam. Namun, Rhyne merasa sedikit was-was.

Mereka sampai di toko buku, menunda pergi ke resto karena Bu Anjani ingin menghadiahkan novel Tere Liye untuk keponakannya yang beberapa hari ke depan ulang tahun.

"Kamu lihat deh, buku ini!" Langit mengambil salah satu novel karya Dee Lestari, yang di simpan di rak buku minimalis paling ujung. Mengambil secara random, memperlihatkan cover buku itu kepada Rhyne.

Rhyne diam mengamati apa yang sebentar lagi Langit lakukan, pikirannya menebak secara acak.

"Apakah ketika kamu hanya sekedar melihat sampul bukunya tanpa berniat membacanya kamu akan menemukan dunia yang diceritakan di dalam buku ini?"

"Tidak" tentu saja Rhyne akan menjawab seperti itu.

"Begitulah cara impian dan harapan bekerja"

"Saya analogikan seperti itu," ia tersenyum tipis sembari menatap Rhyne yang mengangguk mengerti.

Beautiful Feeling ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang