⋇⋆✦⋆⋇
—𝐧𝐞𝐤𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐡 𝐭𝐮𝐚 𝐦𝐞𝐥𝐞𝐥𝐞𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐨𝐫𝐞𝐬 𝐛𝐢𝐛𝐢𝐫. 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐢𝐩𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐠𝐧𝐞𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐤𝐚𝐭, 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐭𝐮𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐦𝐞𝐥𝐞𝐰𝐚𝐭𝐢 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐠𝐞𝐥𝐚𝐩 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐢𝐬. 𝐝𝐢 𝐮𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐧𝐚, 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐧𝐚𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐭𝐮𝐛𝐮𝐡 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐞𝐬 𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐤𝐚𝐩—
"𝐒𝐞𝐥𝐢𝐦𝐮𝐭𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐤𝐮 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐤𝐚𝐦𝐮. 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐭𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐫𝐭𝐢 𝐝𝐞𝐠𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐣𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐣𝐮𝐬𝐭𝐫𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐤𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚"
⋇⋆✦⋆⋇
"Peraturan tertulis Sekolah asrama Willemxander sebenarnya melarang untuk menerima murid baru sebelum menyelesaikan satu semester"
Erine menaikan kepalanya yang tertunduk guna melihat kedatangan wanita tinggi, berparas Anggun, sepasang mata agak sipit namun tajam, serta memiliki kulit putih lembut.
"Saya melanggar itu untuk pertama kalinya dalam kurun 28 tahun sekolah ini berdiri" Lanjut wanita itu lagi. surainya hitam berkilat, berukir senyum begitu hangat mengalahkan kobaran api.
Erine melirik kecil ke arah samping, pada wanita lain berambut pirang dan bertubuh kurus terkesan kerempeng yang dia panggil 'Mommy' selama 1,5 tahun belakangan.
"Perkenalkan, Shani Lexandira Nations. Kepala Sekolah di sini. kebanyakan murid menyapa saya dengan sebutan Madame Shani" Jemari lentik Shani meraih sebuah dokumen.
"Senang bertemu, Erine" sambut Shani, menyerahkan dokumen itu pada wanita di sisi Erine.
"Saya dengar Lusa anda akan berangkat ke Belanda, nyonya Fenisya?"
Fenisya tersungging miring. nanarannya sungguh kurang bersahabat ia tujukan pada Erine yang kini kembali Menunduk.
"Secepatnya. karena suami saya sudah di sana terlebih dulu" Bunyi rendah suara cempreng Fenisya.
Shani mengangguk paham. dia mendekati Erine, mengusap bahu Erine yang tampak lemah, "Kamu sendirian sekarang, Erine"
"Tiap detik kesempatan waktu yang kita ambil memiliki konsekuensi. if you believe in life, then you have to be ready get the hurt. shut your eyes, feel the silenced. Gak usah takut, takdir hidup memang begitu, banyakan pahitnya" Masih saja Shani menerima Respon tanpa ekspresi dari wajah pucat Erine,
KAMU SEDANG MEMBACA
RED RAIN
General FictionSemenjak pindah ke tempat ini, Erine kehilangan segala perasaan sakitnya. sementara Oline terus yakin, jika semua yang mereka lihat dan alami tidak lebih dari sekedar mimpi buruk. atau mungkin, dia yang menolak kebenaran hidup bahwa mereka nyatanya...