Rai

441 52 0
                                    

Yang ini agak laen🗿
.
.
.

Karel melangkahkan kaki jenjangnya. Menapaki puing-puing reruntuhan. Jalan yang ia lalui berhiaskan bercak darah. Dengan tubuh-tubuh yang bergelimpangan, entah masih hidup atau sudah tak bernyawa.

Sementara itu mata hijaunya memindai sekitar, mencari-cari seseorang yang menjadi alasan dia ada disini.

"Masih belum ketemu?" Tanyanya pada salah seorang dengan setelan hitam yang tengah memeriksa beberapa mayat yang bertumpuk.

Begitu jawaban yang diterimanya tak sesuai harapan, Karel menggeram. Tangannya mengepal erat.

"Kalian semua tak berguna! Mencari satu orang saja tak becus!"

Puas memukuli para bawahannya, Karel kembali melangkah. Dan kali ini, ia dapatkan yang dia mau.

Disana, di dekat satu-satunya tembok yang masih tegak meski tersisa setengah. Seseorang yang Karel cari terduduk disana. Bersandar pada dinding dengan kepala tertunduk dan pistol yang tak lepas dari tangannya.

Karel mendekat. Ia lihat ada darah menggenang. Begitu tangannya mengangkat wajah anak itu, dapat ia rasakan kulit yang mendingin di wajah pucat tersebut.

Menarik anak itu ke pelukannya, netra Karel menjadi semakin bengis dan dingin.

"Temukan siapapun yang telah membuat putraku jadi seperti ini. Aku sendiri yang akan mencabik-cabiknya hingga mati!"

"""""""

Karelino De Fornax. Sering juga disebut sebagai The King of the Underworld. Dialah sosok yang paling ditakuti di dunia bawah. Sosok yang memegang pengaruh besar tentang apa saja yang terjadi dibalik bayangan.

Keluarga Karel, yakni De Fornax selalu menempati mata rantai tertinggi di dunia bawah. Mereka terkenal akan kekejaman dan kesadisannya. Serta kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Namun satu yang tak orang ketahui, bahwa De Fornax sangat sulit mendapat keturunan. Itu terbukti dari ranji mereka yang selalu tunggal.

Itu artinya, bila sampai Karel tak sempat memiliki penerus maka tak ada lagi yang bisa meneruskan nama De Fornax. Makanya ayahnya, Ronal, selalu merecoki dirinya dengan hal ini. Katanya sih,

"Tak apa kau mati, asal berikan dulu cucu untukku dan ibumu."

Karel sempat dibuat stres. Apalagi dia tak ada ketertarikan untuk menjalin sebuah hubungan. Lagipula.. tak ada wanita yang bisa menarik perhatiannya kecuali satu. Wanita yang menghabiskan malam dengannya ketika ia menginjak usia 19.

Maka Karel putuskan mencari wanita itu lagi. Namun sulit sekali menemukannya. Karel malah dibuat menggila saat menemukan fakta bahwa wanita itu hamil anaknya.

Singkatnya, setelah bersabar sekian tahun lamanya untuk terus mengorek informasi akhirnya Karel menemukan yang ia cari.

Namanya Raizel. Raizel Delano. Tahun ini berumur 14 tahun. Ketika berumur 6 tahun ia diadopsi oleh salah seorang gangster. Kehidupannya sebelum itu tak diketahui. Karel hanya mendapat informasi ketika anak itu tumbuh di dalam kelompok gangster.

Dan Karel mendapat kabar bahwa Raizel akan ikut serta dalam bentrok antar kelompok gangster di kotanya malam ini.

Begitulah bagaimana Karel menemukan putra yang tak pernah ia temui selama 14 tahun. Dan sekarang anak itu masih belum siuman sejak seminggu yang lalu. Lukanya cukup parah, dua tusukan di perut, tembakan di bahu kiri serta luka di bagian kepala.

Meski baru menemukan anak itu sekarang, tapi jangan remehkan ikatan darah De Fornax. Kondisi putranya yang nyaris meregang nyawa tentu cukup untuk membuat darah Karel mendidih. Itu adalah alasan yang pantas untuk dia melenyapkan kedua kelompok sampah yang menjadi alasan putranya begini.

"Raizel." Karel mengucapkan nama itu dengan kaku. Dia mengambil tangan anak itu dan membawa ke pipinya. "Kapan kamu akan bangun hm? Tidak ingin bicara dengan papa? Oh tidak. Mungkin panggilan 'daddy' kedengaran lebih bagus. Ah atau terserah kamu saja. Yang jelas segeralah bangun saja. Kakek dan nenekmu sudah heboh sekali ingin bicara dengan cucunya."

Ini aneh sekali mengingat Karel adalah orang yang tak banyak bicara. Namun di hadapan anak ini, mulutnya seakan tak ada diamnya.

"Raizel.... Kamu suka dipanggil gimana? Rai? Zel? Atau El?"

Lalu dia terkekeh sendiri. Sampai gerakan lemah di jemari Raizel yang ia genggam membuatnya tertegun. Terlihat bulu mata anak itu bergetar. Pergerakannya lambat sekali membuat Karel menahan nafas. Hingga akhirnya untuk pertama kalinya Karel menemukan sepasang netra hijau persis seperti miliknya terbuka dengan pandangan sayu.

||||||||||||||

"Mom, jangan membuat keributan. Putraku masih tidur."

Karel menghentikan kedua orangtuanya di depan ruang rawat Raizel. Mencegah mereka masuk. Dan itu membuat Chaterine membulatkan mata tak percaya lalu memukuli anak itu dengan emosi.

"Dasar anak durhaka! Mommy buru-buru kesini karena mendengar cucu mommy sudah sadar. Tapi apa ini? Kau bahkan tak mengizinkan kami bahkan sekedar melihatnya saja! Apa kau mau memonopoli cucuku untuk dirimu sendiri hah?!"

"Aduh aduh! Dia putraku mom!"

Karel sudah tak ada harga dirinya memang di hadapan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia menatap ayahnya, "Dad, bawa pulang istrimu ini. Dia berisik sekali."

Ronal menarik istrinya menjauh dari Karel. Dia memeluk pinggangnya dengan lembut, "Sebaiknya kau merawatnya dengan benar jika melarang kami menemuinya."

Setelah Chaterine berhasil dibujuk untuk pergi bersama Ronal, Karel masuk lagi ke dalam. Ia mendekat ke sisi ranjang dengan terburu-buru begitu melihat Raizel membuka mata.

"Apa kamu terbangun karena keributan di luar? Maaf ya, papa tidak bermaksud mengganggu waktu istirahat mu."

Karel sudah menceritakan semua pada Raizel. Tentang siapa dia dan hubungannya dengan anak itu. Meski Raizel tak memberi tanggapan lebih, tapi setidaknya Karel sangat puas ketika kata pertama yang anak itu ucapkan kepadanya adalah 'papa'.

Begitu saja Karel sudah sayang setengah mati pada anak ini.

"Papa...." Raizel memanggil dengan lirih.

"Ya." Karel mendekat, meraih tangan anak itu untuk ia genggam.

"Sa-kit..."

Wajah Karel menggelap. Emosinya naik hanya dengan mendengar putranya merintih pelan dengan kening berkerut.

"Papa akan segera panggil dokter untuk memeriksa ya?"

Tapi Raizel tak mau melepas genggaman tangannya.

"Papa..."

Pandangan Karel melunak, "Dimana yang sakit? Katakan pada papa."

"Kepala."

Karel menyentuh kepala anak itu dengan hati-hati, "Disini?"

Anak itu mengangguk pelan. Ia memejamkan mata saat Karel mengusap kepalanya dengan sayang. Matanya mengerjap lambat beberapa kali hingga akhirnya dia kembali tertidur dengan nyaman.

Melihat kerutan di kening putranya menghilang, Karel tersenyum teduh. Ia mendekat dengan hati-hati, memberikan kecupan di kening anak itu cukup lama.

Ketika keluar dari ruangan itu, ekspresinya berubah drastis. Terlihat matanya memancarkan sorot dingin yang luar biasa.

"Ah, sial. Mereka semua sudah terlanjur mati. Tau akan begini harusnya ku siksa lebih lama lagi. Membuat putraku begitu menderita, mati saja tak akan cukup untuk mereka!"

||||||

campur aduk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang