Jujur padaku ayah..

355 45 0
                                    

Ini konteksnya kerajaan langka nih saya nulis begini
.
.
.

"Jujur padaku, Ayah?"

"Apa?"

"Lima tahun lalu...."

"...."

"Kau pungut dimana diriku saat itu?"

Sean tak tau kenapa dia harus dianugerahi putra seperti ini. Tapi dia cukup tau, ini mungkin adalah karma yang sering ibunya sebut-sebut. Akibat dirinya yang selalu memberontak dan membuat susah orang tuanya saat muda, makanya dia diberikan anak seperti ini.

"Dipikir-pikir lagi aneh rasanya. Pria sepertimu bisa-bisanya mempunyai putra sesempurna aku."

"Jangan meremehkan kedudukan seorang Arcduke, bocah."

"Apalah artinya Arcduke, kau bukan orang terkaya di dunia. Aku semakin yakin pria menyedihkan sepertimu pasti memungut ku di suatu tempat."

Harus Sean apakan anak ini bagusnya ya?

"Jati diriku pastilah tidak main-main. Ayahku pahlawan yang mati berkorban demi kedamaian dunia, ibuku adalah rekan yang membantunya dalam misi perdamaian. Dan aku anak mereka yang berhasil selamat berkat pengorbanan dari cinta kasih mereka berdua. Lalu kau pria menyedihkan yang kebetulan lewat dan membawaku pulang karena menyadari kesempurnaan yang memancar dariku sejak masih bayi."

"Kau pintar sekali mengoceh ya, bocah."

"Menyadari potensi diriku, aku yakin kau akan menjadikan aku alat balas dendam di masa depan."

"Omonganmu semakin ngawur. Lebih baik kita pulang dan makan. Matahari semakin tinggi."

"Karena diturunkan dari posisi putra mahkota dan adikmu naik menggantikan mu kemudian menjadi raja, kau merasa di khianati. Dan mulai merencanakan pemberontakan untuk perebutan tahta."

"Hentikan bocah. Jika pamanmu mendengarnya bisa-bisa dia turun jabatan dan melempar beban itu padaku secara suka rela."

"Tapi.... Aku sudah tau tentang latar belakang ku. Kau tak akan bisa memanfaatkan kekuatan ku ini seenaknya—akh!"

Sean menyentil kening bocah berusia 5 tahun yang tak lain adalah putranya itu. Namanya Elios. Anak yang benar-benar tak ada mirip-miripnya dengan Sean dari segi fisik. Tapi secara sifat, si pembangkang ini 100% mencontoh darinya.

"Berhentilah mengoceh. Ayo kembali sekarang."

"Tidak. Aku tak mau pulang!"

"Ayolah, El. Apa kau tak lapar?"

Elios terdiam sejenak dan meraba perutnya. Sedikit bergemuruh. Dia memang lapar. Tapi dia juga tak mau pulang.

"Aku lapar tapi tak mau pulang."

Sean menatapnya malas, "Kenapa memangnya?"

"Aku mau mencari orangtua kandungku!"

Sean berjongkok di depan anak itu dan menusuk-nusuk pipinya dengan jari telunjuk, "Bukankah kau bilang mereka sudah mati dalam upaya menjaga perdamaian dunia?"

Elios merasa terusik dengan jari Sean di pipinya. Dia sudah menepisnya berkali-kali tapi Sean terus menusuk-nusuk pipinya. Akhirnya dia memegang tangan besar sang ayah dengan kedua tangan mungilnya.

"Kalau begitu aku akan mencari kakek dan nenek."

"Mereka ada di istana."

"Bukan yang itu!"

"Lalu kau mau yang mana?"

Elios berpikir sejenak. Ia seketika melupakan soal 'jati diri aslinya'. Ada sesuatu yang tiba-tiba saja mengganggu pikirannya.

"Ayah," Elios menatap Sean dengan mata bulatnya. Dia melepaskan tangan Sean yang sedari tadi ia pegang.

"Apalagi kali ini, hm?" Sean bertanya lembut sembari mengusap surai hitam putranya.

"Ceritakan tentang ibu."

"...."

"Kakek nenek yang di istana kan dari ayah. Yang dari ibu juga ada kan? Tapi kenapa mereka tak pernah datang?"

"El...."

"Bukan hanya itu, bahkan ibu pun... tak pernah muncul sekali pun meski aku terus memanggilnya."

Tidak ada jawaban. Sean tak memberikan jawaban yang Elios inginkan. Membuat anak itu menatap bingung.

Kening Elios berkerut saat mendapati ayahnya malah melamun entah memikirkan apa. Tangannya menepuk pipi sang ayah.

Itu membuat Sean sedikit tersentak. Yang dia lihat begitu tersadar dari lamunannya adalah wajah cemberut putranya.

"Kenapa ayah selalu diam tiap aku tanya tentang ibu? Padahal kan katanya ayah pria paling pintar di kerajaan yang hafal semua isi buku di perpustakaan!"

Pandangan Sean turun. Ia terkekeh pelan, "Itu karena hal-hal tentang ibumu tak tertulis dalam buku-buku di perpustakaan."

Kening sempit Elios makin berkerut, "Ah menyebalkan!"

Bocah itu berjongkok dan memegangi kepalanya dengan ekspresi sulit.

"Apa yang kau coba pikirkan dengan wajah seperti itu, huh?"

Elios tampak tengah berpikir keras. Sampai kemudian ekspresi wajahnya mendadak berubah sendu. Bersamaan dengan itu Sean mendengar gemuruh perut putra kecilnya itu.

"Ukh, ayah aku lapar."

"Baiklah ayo kita pulang."

Sean menggendong Elios dan anak itu segera menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah dengan nyaman.

"Ayah...."

"Hm?"

"Sekarang aku mengantuk. Aku bingung mana dulu yang harus diatasi."

Sean tergelak. Dia mengusap punggung Elios secara teratur.

"Kau bisa tidur. Nanti ayah bangunkan saat kita sampai di rumah."

.....

campur aduk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang