Dasar anak aneh!
Aku menggeleng melihat tingkah sahabatku yang berjoget-joget sambil berjalan menuju kantin kampus.
Tunggu? Sahabat? Apa aku tidak salah bicara???
Ya... tapi mau bagaimana pun juga Geges adalah manusia terdekat sepanjang perkuliahanku.
"Mau makan apa?"
"Apa aja," jawabku sambil menaruh tas di meja makan.
Aku duduk membuka laptop, memeriksa beberapa email masuk terutama dari Zalwa.
Aku mengangguk-angguk kecil membaca program penelitiannya. Dia menyusunya dengan rapi. Dan hal itu membuatku tersenyum. Meski sifat dan karakternya berubah, Zalwa tetaplah pangeran ketujuh yang cerdas. Aku setuju bila dia dijuluki sebagai cendekiawan kerajaan Arsakha sama halnya dengan Kak Altan.
Kurasa Zalwa benar-benar bekerja keras untuk mengumpulkan semua materi dan teori untuk menunjang penelitiannya ini. Banyak sumber dari beberapa buku yang mungkin belum tentu dipelajari pada masa-masa tingkat awal perkuliahan.
"Yo, man," Geges kembali dengan dua mangkuk bakso dan dua gelas teh manis dingin.
"Thank you," ucapku yang masih menatap layar laptop.
"Santai-santai," dia meguk teh manisnya sebelum kembai membuka suara.
"Gimana bimbingannya, seru?"
"Stress," jawabku yang masih membaca ratusan kata di layar laptop.
Geges tertawa ringan sebelum menyantap baksonya, sementara aku masih pokus membaca sederet kalimat di layar, sampai akhirnya dua kata di dalam satu kalimat itu membuatku terbelalak.
Crystal blood.
"Ah?!"
"Ada apa?" Geges menoleh dan kepalanya mendekat kelayar laptop.
Cepat-cepat aku menutupnya. Aku tidak mau dia membaca opini gila ini!
"Tidak apa-apa,"
Kumasukan laptop itu ke dalam tas lalu memakan semangkuk bakso yang sudah Geges pesankan.
Namun selama aku menyantap makan siang, selama itu juga dia tak lepas memperhatikanku.
"Kau bertengkar dengannya?" Suara itu memecah keheningan kami berdua.
Aku menoleh padanya yang duduk di sebelahku.
"Siapa?"
"Dia, si rambut merah," Geges mengalihkan pandangannya pada sebuah meja yang tak jauh dari posisi kami. Aku pun demikian.
Al yang Geges maksud. Kembaranku yang sedang duduk makan siang bersama beberapa temannya di sana.
"Dia punya bekas luka di lehernya, sama sepertimu,"
Aku menyentuh leherku. "Apa kelihatan jelas?"
Geges mengangguk.
"Kalian saling cekik atau bagaimana?"
"Tidak, lagi pula untuk apa aku bertengkar dengannya,"
"Terkadang tidak perlu alasan untuk kakak beradik bertengkar,"
Sendok baksoku tertahan di depan bibir. Aku menoleh padanya untuk yang kedua kalinya.
"Kau tahu kalau aku dan dia-" anggukan kepalanya buatku berhenti berbicara.
"Semua orang pun akan tahu kalau kalian berdua itu bersaudara, wajah kalian mirip, belum lagi gaya rambut kalian. Kurasa kalian adalah kakak beradik yang hobi mewarnai rambut,"
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTERY OF THE ACALAPATI [PANGERAN KELIMA 2]
FantasíaKehidupannya tak lagi menyandang gelar sebagai Pangeran Kelima. Ellio kembali berbaur dengan hirup pikuk Ibu Kota. Meski tak ada lagi tuntutan sebagai seorang Pangeran, Ellio tak menampik jika dia tak bisa lari dari perannya sebagai kesatria Acapala...