Kuda Putih

324 47 60
                                    

Satu hal yang muncul di kepalaku setelah bangun dari tidur, "Siapa di balik penyerangan itu?"

Aku duduk termangu di atas kasur. Peristiwa peperangan yang kulihat ketika kehilangan kesadaran bukan sekedar bunga tidur semata. Aku yakin itu adalah bayangan pristiwa yang akan terjadi di masa depan. Bagai menonton sebuah film, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong mereka, aku hanya bisa berdiri menyaksikan peperangan yang banyak menelan nyawa rakyat Arsakha, bahkan saat seorang pangeran Tanah Jingga tertusuk pedang belati dari seorang panglima perang berkuda putih pun aku hanya bisa mematung melihat tubuhnya merosot ke tanah.

Aku menggelengkan kepala sambil memejamkan mata untuk memutus segala bayangan itu, tapi tetap saja bayangan itu tak jua menghilang bahkan semakin aku berusaha keras memutusnya semakin jelas alur peristawa berdarah itu kusaksikan.

"Tidak, tidak, tidaaaakk... sudah cukup!" Aku mencengkram rambut kuat-kuat.

"Ellio?" Seseorang masuk ke dalam kamarku, dari suaranya sudah bisa kuduga jika Nanny yang datang. 

Aku mendongak membalas datar tatapan khawatirnya.

"Nanny," ucapku pelan nyaris berbisik.

"Astaga... kau terlihat begitu pucat, kau juga berkeringat dingin," Nanny memegang wajah dan keningku.

"Sebentar aku panggilkan tabib istana,"

Dengan satu kali gerakan aku megang tangan Nanny hingga kakinya tertahan.

Aku menggeleng pelan.

"El, kau butuh perawatan, jika-"

"Aku hanya butuh saudara-saudaraku, di mana mereka? Aku butuh energi mereka," memotong ucapan Nanny.

"Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga, mau aku panggilkan mereka sekaeang?"

"Tidak Nanny, biar aku saja yang ke sana,"

Di bantu Nanny, aku berjalan pelan, sesekali aku menoleh ke arah jendela besar sepangjang koridor istana. Langit di luar sana masih biru bersama awan putihnya, entah langit cerah keberapa yang telah aku lewati selama di sini?

"Sudah berapa hari aku tidak sadar?"

"Empat hari, El," jawab Nanny yang memapahku.

Aku menghela napas pelan.

"Kau memang nakal! Selalu saja buat aku khawatir," Nanny mendumal pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Aku melirik Nanny sekilas, wanita berusia hampir 50 tahun ini berjalan dengan wajah kesal. Aku tertawa pelan melihatnya.

"Jangan tertawa! Aku sedang malas padamu!"

Tok,tok,tok!

Nanny mengetuk pintu ruang keluarga.

"Masuk,"

Deg!

Sebentar!

Kenapa jantungku mencelos seakan copot dari tempatnya ketika mendengar suara wibawa Ayah dari dalam sana. Apa yang akan terjadi setelah aku menampakan batang hidungku di hadapannya?

Saat Ravendra membawa tubuhku masuk ke dalam istana waktu itu, Ayah begitu terkejut melihatku yang tak sadarkan diri diatas pinggung Ravendra. Hampir 24 jam rupanya Ayah menemani anak kelimanya  ini di kamar. Tidak ada yang dia lakukan selain duduk memandangiku yang belum mau membuka matanya dengan paras khawatir.

Dia marah, dia kecewa padaku yang gegabah mengambil keputusan. Melakukan perubahan jiwa menjadi cahaya Arkamaya adalah keputusan paling berbahaya terlebih lagi mengingat kondisiku waktu itu sedang tidak baik-baik saja, hal itu beresiko mengancam nyawaku sendiri. Meski begitu, rasa khawatir yang besar mampu mengalahkan rasa marah dan kecewanya.

MYSTERY OF THE ACALAPATI [PANGERAN KELIMA 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang