"A-akh..."
"Tahan sedikit," ucap Ishan.
Sungguh, ini rasanya sakit sekali!
Metode pengobatan yang Ishan lakukan untuk menyembuhkan luka dalamku akibat serangan Zein tadi siang adalah dengan pembersihan energi.
Tentu saja dia amat sangat terkejut melihat salah satu adiknya berjalan dipapah masuk ke dalam rumah oleh Al dan Ariel. Ishan semakin terkejut setelah mendendengar sederet penjelasan Ariel mengenai kejadian yang sudah kami alami di panti tadi, bahkan saking khawatirnya dia menelepon dan memberi kabar mengenai keadaanku kepada Ravendra yang hendak melakukan penerbangan ke luar negeri hingga kakak pertama kami itu membatalkan penerbangannya.
Dan sekarang, Ravendra sudah ada di sini. Lahir kekhawatiran di paras tampannya, ketika mendengar aku berulang kali mengeluh sakit ketika energi putih milik Ishan menembus tubuh bagian belakangku.
"Uhuk! Uhuk!" Aku setengah membungkuk mengeluarkan cairan kental merah segar dari mulut.
Dengan sabar dan cekatan Ishan mengurus segala hal yang terjadi padaku. Dia membaringkanku yang sedari tadi duduk bersila di atas sofa.
"El, kau bisa mendengarku?" Tanya Ravendra yang duduk di ujung sofa.
Aku mengangguk pelan meski dengan mata tertutup.
"K-kak..."
"Sudah jangan bicara dulu, istirahatlah. Biar aku saja yang membaca isi pikiranmu,"
Hening.
Tidak kudengar satu suara pun dari mulut orang-orang yang ada di sekitarkku. Mereka seperti memberi kesempatan kepada Ravendra untuk berkonsentrasi membaca semua isi pikiranku selama beberapa menit kedepan.
"Kalian, hampir melampaui batas rupanya,"
Mataku perlahan terbuka, begitu juga dengan Al, matanya melebar. Iya, kami memgerti maksud perkataan Ravendra barusan.
"Tapi aku tidak yakin kalian benar-benar rela melepaskan mereka,"
"K-Kak... maaf," hanya itu yang mampu aku ucapkan dengan lirih di saat Al hanya tertunduk tak menanggapi.
"Aku tidak marah, perasaan itu anugrah El, Al, hanya saja kekhawatiranku kepada kalian semakin berkali lipat. Aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar, aku tahu kalian mengerti. Dan kalian sudah lihat sendiri akibatnya bukan?" Ravendra menatapku dan Al bergantian.
"Petuah Raja bukan sekedar ucapan semata adik-adikku,"
"Iya, kami mengerti, sekali lagi maaf," ucap Al. Dia melenggang pergi naik ke lantai dua setelah mendapatkan anggukan kepala Ravendra.
"Kau juga harus istirahat, eoh? Aku tidak ingin melihatmu seperti ini, lekas pulih," Ravendra membelai puncak kepalaku.
Senyuman tipis ini lahir ditengah-tengah anggukan kecil kepalaku. Syukurlah, Ravendra tidak marah padaku dan Al, dia begitu bijak menanggapi kejadian ini.
"Terima kasih, Kak," ucapku pelan nyaris berbisik.
Ravendra mengangguk. "Ariel, bantu El ke kamarnya dan biarkan dia istirahat,"
***
Semua berkumpul di meja makan pagi ini. Aku sempat mematung sebentar, memperhatikan satu per satu orang-orang yang sudah duduk di kursi makan.
Aku menghela napas.
Iya, kalian benar aku masih denial atas kepergian Kak Altan. Biasanya pagi-pagi begini laki-laki bersurai keunguan itu sudah berhasil meramaikan suasana dengan celotehannya. Keheningan menjadi suatu hal yang mustahil di ruang makan jika dia ada. Tapi pagi ini, suasananya berbeda. Tidak ada keributan itu, bagai menghadiri jamuan penting, semua tampak serius dengan makanannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTERY OF THE ACALAPATI [PANGERAN KELIMA 2]
FantasíaKehidupannya tak lagi menyandang gelar sebagai Pangeran Kelima. Ellio kembali berbaur dengan hirup pikuk Ibu Kota. Meski tak ada lagi tuntutan sebagai seorang Pangeran, Ellio tak menampik jika dia tak bisa lari dari perannya sebagai kesatria Acapala...