Bab 1

219 28 1
                                    

"Assalamualaikum," sapaku seraya membuka pintu rumah.

"Dit, kenapa sih kamu nolak lamaran anaknya Pak Iskandar segala? Kamu kan tahu keluarga mereka sangat terpandang di kampung sini. Orang lain mah sampe mimpi-mimpi dilamar sama Adit, lha kamu malah sok-sokan nolak."

Aku yang baru saja menutup pintu tertegun mendengar rentetan kata-kata dari Mbak Dini. Kakak perempuanku satu-satunya tersebut memang kalau sudah bicara, bisa sepanjang truk gandeng dan nggak akan berhenti sebelum semua yang ingin diucapkannya keluar.

"Dita! Ditanyain malah bengong! Kenapa sih? Apa kurangnya si Adit? Udah cakep, kaya, sarjana, kurang apa lagi? Bukannya kamu juga udah kenal sama si Adit itu?"

Tuh kan, belum sempat aku menjawab, pertanyaan lain sudah berdatangan. Kalau saja aku tak mengenal Mbak Dini yang sebenarnya baik ini, pasti sudah aku acuhkan sejak tadi. Tak ingin dianggap tak sopan, jadi aku pun melemparkan senyum termanis yang kupunya.

"Mbak, kalau ada orang kasih salam tuh dijawab dulu. Bukannya malah marah-marah begitu. Lagi juga udah lama nggak ketemu bukannya tanya kabar, ini malah langsung bawelin Dita aja," ujarku sambil berpura-pura merajuk.

"Iya deh, iya. Waalaikum salam. Dita sayang apa kabar?" Mbak Dini ikut memberi senyum sambil mencubit pipiku disertai dengan wajah gemas yang tidak bisa disembunyikannya. Mau tak mau aku jadi tertawa melihatnya.

"Nah, gitu dong. Itu baru Mbak yang baik. Dita jawab ya. Alhamdulillah kabar Dita baik, Mbak sayang. Mbak Dini kabarnya gimana? Keponakan Dita di mana? Kok nggak keliatan?"

"Sudah. Sudah. Cukup basa-basinya! Sekarang jawab dulu pertanyaan Mbak. Kenapa kamu nolak lamarannya si Adit?"

Aku menghela napas panjang. Tak tahu harus menjawab dari mana. "Emm, Mbak Dini tahu dari mana? Memangnya Adit ngadu ke Mbak ya?"

"Ditaaa! Udah nggak usah ngalihin pembicaraan! Jawab aja kenapa sih?!" Mbak Dini mulai kehilangan kesabaran, terlihat dari matanya yang membulat sempurna dan air wajah yang seolah ingin menelanku. Padahal aku sendiri masih berusaha mencari kata-kata ternyaman untuk didengar.

"Iya. Iya, Mbak. Dita ngerasa belum siap nikah ah. Kuliah Dita aja belum kelar, belum kerja juga, belum nyenengin ibu bapak. Masa udah mikirin nikah aja," jawabku sebisanya karena memang tak ingin mengatakan yang sebenarnya.

"Ya ampun, Dit. Kamu kan masih bisa kuliah biarpun udah nikah. Yang udah punya anak tapi masih kuliah juga banyak. Lagian Adit udah mapan begitu, pasti nggak masalah kalo kamu nggak kerja juga." Mbak Dini tampaknya masih belum menyerah untuk menyalahkan keputusanku kemarin.

"Nggak ah, Mbak. Kasian nanti suami Dita kalo Dita masih sibuk kuliah, bisa-bisa kurang diurus nanti. Lagian yang mapan itu keluarganya, bukan Adit sendiri. Udahlah Mbak, Dita capek. Mau istirahat dulu ya." Tanpa menunggu jawaban Mbak Dini, aku pun langsung beranjak ke kamar. Tak mempedulikan lagi perempuan beranak satu yang masih menggerutu di belakangku itu.

Setiba di kamar aku langsung melepaskan kerudung yang menutupi rambut panjangku dan segera menuju kamar mandi. Kegiatan di kampus seharian membuat tubuh ini terasa lengket sekali. Mandi adalah hal yang paling aku butuhkan saat ini.

Selesai mandi, aku merebahkan diri di kasur. Meraih ponsel yang sejak tadi tak tersentuh sama sekali. Membaca pesan-pesan WhatsApp yang masuk dan membalas beberapa di antaranya. Lantas kembali terdiam dan terpaku pada satu pesan dari seseorang yang kini nun jauh di sana, yang sebenarnya sudah dikirim dari beberapa waktu lalu.

"Jangan tunggu aku. Ibu dan adik-adikku sangat membutuhkanku. Kalau ada lelaki baik yang datang melamar, sebaiknya kau terima. Aku ikhlas melepasmu."

---------------------------
To be continued…

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang