Bab 3

92 16 0
                                    

Senja baru saja menggelap saat aku tiba di rumah. Mbak Dini dan Syifa, keponakanku yang berusia setahun pun sudah pulang ke rumahnya di Bekasi. Jadi di rumah hanya ada bapak, ibu, dan aku si bungsu.

"Nduk, tolong ke sini sebentar!" panggil bapak yang baru saja pulang dari masjid saat aku hendak membuka pintu kamar. Tak ingin bapak menunggu aku segera mendekat dan duduk di sofa di sisinya.

"Ya, Pak?"

"Kamu baru pulang, Nduk?" Bukannya menjawab, Bapak malah balik bertanya. Aku mengangguk sambil menyandarkan tubuh ke sandaran sofa.

"Iya, Pak. Tadi rapat final acara Gebyar Muharram, tinggal seminggu lagi kan, tapi sponsor sama narasumber belum fixed semua."

"Bapak doain acaranya lancar. Kamu juga jangan terlalu diforsir ya, Bapak ndak mau kamu malah sakit."

"Siap, Pak. Oh ya tadi Bapak panggil Dita kenapa?"

Bapak menghela napas panjang seraya memperbaiki posisi duduknya. Naluriku mengatakan ada hal serius yang ingin Bapak katakan. Jadi, aku pun ikut menegakkan duduk demi menghormati Bapak.

"Begini, Nduk. Tadi di masjid Bapak ketemu Pak Iskandar. Dia tanya apa keputusan kamu ndak bisa diubah, Nduk? Kayaknya Pak Iskandar benar-benar berharap kamu jadi mantunya. Apalagi kamu sama Adit kan sudah lama saling kenal. Kamu yakin ndak mau berubah pikiran lagi, Nduk?" tanya Bapak panjang lebar dengan suara pelan. Sebenarnya sejak Bapak memanggil tadi, aku sudah bisa menebak apa yang akan disampaikan. Dan nyatanya semua dugaanku terbukti benar.

Sekarang giliran aku yang menghela napas panjang. Aku dan Adit memang sudah saling mengenal sejak lama, sejak masih sama-sama di bangku sekolah dasar malah. Kami sudah sering main bersama, belajar bersama, bahkan saling berbagi rahasia sejak kecil. Namun, bukan berarti itu membuatku ingin menjadikannya pendamping hidup kan?

Terlebih setelah mengetahui semua rahasia terdalam Adit, jelas saja menikah dengannya menjadi hal yang paling tak aku inginkan di dunia ini. Aku tak mau nantinya terjebak dalam pernikahan yang seumpama neraka. Apalagi kalau harus berakhir dengan perceraian.

"Maaf, Pak. Keputusan Dita sudah bulat dan nggak bisa diubah lagi. Mohon maaf sekali. Dita yakin Adit akan ketemu seseorang yang baik nantinya. Dan orang itu jelas bukan Dita."

"Kamu bisa jelasin ke Bapak apa alasannya, Nduk? Biar Bapak dan Pak Iskandar paham dan mengerti." Wajah Bapak yang masih tetap tampan di usia yang tak muda lagi menatapku dalam-dalam. Seolah mencari jawaban di sana. Sayangnya aku sudah bertekad untuk menyimpan rapat-rapat semua alasannya untukku sendiri. Biarlah hanya aku dan Adit saja yang tahu.

"Sekali lagi maaf, Pak. Dita nggak bisa kasih tahu alasannya. Biarlah nanti Adit sendiri yang menjelaskan ke orang tuanya."

"Ya sudah, kalau keputusanmu begitu. Bapak ndak bisa maksa. Jadi, gimana kabar Nak Rudi?" Pertanyaan Bapak yang tak terduga ini tentu saja membuat aku terkejut. Tak mengerti kenapa Bapak tiba-tiba teringat pada rekanku di Kerohanian Islam ini.

"Eh, hmm ... kok Bapak tiba-tiba tanya Rudi? Kenapa?" tanyaku dengan rasa panas yang mulai menjalar di pipi. Terlebih saat Bapak menatapku intens seperti ini.

"Ndak. Ndak ada apa-apa. Tiba-tiba aja Bapak keingetan Nak Rudi. Dia sudah nikah belum ya, Nduk?" Bapak bertanya lagi sambil akhirnya mengalihkan pandangan. Membuatku merasa lega bukan main.

"Hmm ... sejujurnya Dita nggak tahu kabarnya dia, Pak. Sudah satu semester ini dia cuti, kabarnya sih mengurus ibunya yang sakit di kampung."

"Anak baik memang dia. Bapak ndak keberatan punya mantu seperti Nak Rudi."

Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa ada yang meremas hati ini hingga terasa sakit.

To be continued ....

Nb. Saya up pelan-pelan yaa hehe 🤭

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang