Bab 4

91 13 0
                                    

Hmm …

Rudi ….

Karena Bapak tadi menyinggung tentang lelaki itu membuatku sulit memejamkan mata malam ini. Bukan karena tugas kuliah, tapi karena sibuk mengingat-ingat. Ya, siapa lagi kalau bukan seseorang yang yang disebut Bapak tadi.

Sudah hampir satu semester ini ia cuti dan kembali ke kampung halaman di pelosok Jawa Tengah untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Ia masih memiliki dua orang adik perempuan yang masih bersekolah sementara ayah mereka sudah tiada. Otomatis beban ekonomi ditanggung ibunya yang berdagang di pasar, tapi sayangnya kini sang ibu sedang sakit.

Sebagai lelaki tertua di keluarga, rasa tanggung jawab memaksanya untuk pulang ke kampung halaman yang entah sampai kapan. Entah kembali atau tidak. Entah akan melanjutkan kuliah atau tidak. Tak ada yang tahu.

Tanpa diperintah kenangan tentang perjumpaan dan interaksi kami selama ini terputar kembali di benak. Lelaki berperawakan tinggi kurus yang merupakan ketua dari UKM Kerohanian Islam ini adalah seseorang yang sangat menjaga diri. Tak pernah ia bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahramnya, tak juga memandang secara terang-terangan. Pandangannya selalu tertunduk ke bawah.

Meski sibuk, nilai-nilai akademiknya selalu memuaskan. Indeks prestasi semesternya selalu memuaskan. Hal ini aku ketahui karena kami bertemu di beberapa mata kuliah. Jangan tanya bagaimana ia di kelas, sudah pasti tekun dan rajin, tak pernah absen dan selalu mengerjakan tugas-tugas dengan baik.

Dari segi penampilan sebetulnya tak begitu menarik, tapi seperti ada magnet yang terpancar dari dirinya yang membuat Rudi selalu berhasil menarik perhatian setiap mahasiswi. Tak sedikit yang jatuh hati dan terang-terangan mengirim surat padanya. Namun, selalu ia tanggapi dengan senyum bijaksana. Prinsipnya, menikah dulu baru pacaran.

Sementara interaksi kami hanya sebatas kegiatan Rohis. Paling banter bertemu di rapat pengurus atau tiap kali mengadakan agenda kegiatan. Kalaupun bertemu di luar rapat, paling sebatas mengucap salam atau menjawab salam saja. Tak ada yang istimewa, kecuali saat suatu ketika kakak mentor keputrian mengatakan sesuatu yang membuatku kaget luar biasa.

"Dita, ada ikhwan yang mau ta'aruf sama kamu. Gimana?" Begitu kira-kira ucapan Mbak Sarah yang sempat membuatku terpana sesaat. Dan lebih terkejut lagi saat dua lembar curriculum vitae dengan nama Rudi Prasetyo diserahkan padaku.

"Katanya dia sudah lama memperhatikan kamu dan merasa cocok dengan kepribadian kamu, Dit. Untuk maisyah insya Allah sudah ada jalannya. Dia sedang merintis usaha sendiri dan optimis usahanya akan berhasil. Mbak yakin kamu tahu kalau dia selama ini sering dapat surat dari para mahasiswi kan. Dia khawatir nantinya nggak bisa menjaga hati lagi. Jadi sebelum itu terjadi dia lebih memilih untuk menggenapkan separuh agama. Mbak tahu kamu pasti kaget, coba kamu pikir baik-baik ya, Dit."

"Hmm … tapi kenapa Dita, Mbak? Yang lebih baik atau lebih cantik kan banyak."

Mendengar hal itu Mbak Sarah malah tertawa. "Dita. Dita. Masalah hati siapa yang bisa mengatur, Dit? Yang terpenting kan bagaimana menjaga perasaan agar rasa itu tak lebih dari kecintaan pada Allah. Iya kan? Dan Rudi sudah membuktikannya selama ini bukan?"

Entah bagaimana perasaanku saat itu. Aku hanya terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi. Bahkan hingga larut malam mata ini tak bisa terpejam, sibuk menelusuri tulisan Rudi yang telah kubaca puluhan kali. Hingga akhirnya yang bisa aku lakukan hanya tersungkur dalam sujud-sujud panjang di sepertiga malam.

Dalam masa penantian keputusan tersebut, Rudi pernah berjumpa Bapak. Hanya karena terpaksa menjemputku yang tengah sakit ke rumah, karena ada agenda kegiatan Rohis yang sangat membutuhkan kehadiranku. Di saat itulah Bapak sangat terkesan oleh sikap sopan dan santun yang ditunjukkan lelaki Jawa tulen ini.

Sayangnya, saat aku telah siap memberi jawaban tiba-tiba saja kabar itu datang. Sang ibu sakit keras yang membuat putra satu-satunya harus pulang, entah sampai kapan. Tak ada ucapan apapun kecuali sebuah chat. Chat pertama dan terakhir yang pernah dikirimnya yang sukses membuatku merasa patah hati untuk pertama kalinya.

"Jangan tunggu aku. Ibu dan adik-adikku sangat membutuhkanku. Kalau ada lelaki baik yang datang melamar, sebaiknya kau menerimanya. Aku ikhlas melepasmu."

To be continued.

Jangan marah yaaa, saya update-nya sedikit-sedikit hehe.. masih banyak amanah dan tanggung jawab yang mesti dikerjain di dunia nyata 😁🙏

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang