Bab 7

46 7 0
                                    

Aku mengalihkan pandangan ke arah Mila yang juga melihat padaku. Dari tatapannya, aku yakin jika ia pun ikut mendengar percakapan absurd barusan. Kening kami sama-sama berkerut dan berusaha menajamkan pendengaran kembali. Sayangnya ketiga orang di meja sebelah sudah pergi dengan terburu-buru.

"Mil? Yang mereka omongin itu nggak mungkin gue kan?" tanyaku ingin memastikan pendengaran sendiri.

Mila sendiri tampak tak yakin. "Tapi seingat gue di ekonomi yang namanya Dita itu lu doang. Tapi … Arya …?"

Duh, apalagi ini. Nggak mungkin mereka sengaja berbicara demikian di sebelahku kan? Karena aku benar-benar tak mengenal mereka dan mereka pun tampaknya sama. Aku sendiri tak mengerti hal-hal yang mereka ucapkan tadi. Fotocopy? Lahan parkir? Maksudnya apa?

Tiba-tiba saja Mila menepuk lenganku. "Cepetan, Dit! Kelarin tuh paper! Lu nggak mau dapet nilai D kan?"

Bagai tersadarkan, aku segera melihat ke arah jam tangan. Benar saja, waktu mengerjakan tinggal 90 menit lagi. Ampun deh, gara-gara sibuk dengerin gosip di sebelah sampai nggak sadar kalau tugasku masih banyak. Belum lagi masih harus dijilid di kios fotokopi.

Tak menghiraukan kanan-kiri ataupun Mila di hadapan, aku segera melanjutkan. Mumpung ada waktu sedikit. Jangan sampai mendapat teguran lagi. Sebelumnya aku sudah mendapat teguran karena sibuk mengurus acara Rohis.

Dua jam kemudian.

Aku berlari secepat yang aku bisa menuju ruang dosen. Aku terlambat 30 menit dari waktu yang seharusnya untuk mengumpulkan tugas. Semoga saja Pak Aji mau berbaik hati kali ini. Toh aku telat karena mengantri di kios fotokopi, meski masih terbilang kilat juga.

Akhirnya aku tiba juga di depan ruangan Pak Aji. Tanganku yang sudah terulur untuk mengetuk tiba-tiba jadi tertahan saat samar-samar terdengar adanya percakapan di dalam, yang artinya Pak Aji sedang menerima tamu. Duh, bisa-bisa aku makin telat. Gimana ini?

"Tolong ya, Pak. Kasihan Dita abis sakit, makanya nggak bisa kumpulin tugas tepat waktu. Tolong ya, Pak. Saya yakin bapak orang yang baik."

Deg!

Hatiku berdegup kencang mendengar seseorang di dalam sana menyebut namaku. Ada apa ini? Siapa tamu Pak Aji? Kenapa juga aku dibilang habis sakit?

"Arya … Arya …! Kamu tuh ada urusan apa, sampai-sampai mau repot ke sini? Kamu siapanya Dita, hah? Pacar?"

Seketika aku menahan napas mendengar nama yang disebut. Jantungku berdetak semakin cepat hingga sakit rasanya. Semakin tak mengerti apa yang terjadi di sini. Setelah tadi mendengar gosip tentang Arya, kini nama itu disebut lagi di sini di fakultas ekonomi.

"Saya cuma teman Dita kok, Pak. Bapak doakan saja kami bisa jadi lebih dekat dari itu hehe. Terima kasih atas kebaikan bapak ya. Saya pamit dulu."

Tanpa diperintah aku segera berpindah, mencari tempat agak tersembunyi agar seseorang yang baru keluar ini tak bisa melihat. Setelah seseorang itu pergi, aku cepat keluar dari persembunyian dan bergegas memasuki ruangan setelah mengetuk.

"Ah, panjang umur kamu, Dit! Baru aja Arya datang ke sini minta saya memberi kelonggaran buat kamu, karena kamu baru sembuh dari sakit. Mana sini tugas kamu? Kamu sakit apa, hemm?"

Aku sungguh tak bisa berkata-kata, selain memberi senyuman manis. Tak ingin Pak Aji melihat keresahan di mataku. Lantas pergi setelah mengucap terima kasih. Tentu saja semua hal ini membuat pikiranku terasa penuh oleh pertanyaan-pertanyaan. Tak mengerti harus bertanya pada siapa.

****

"Cinta adalah fitrah. Karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Cinta jugalah yang membuat dunia ini tercipta, cinta Allah. Cinta juga yang membuat dunia damai dan tenang, seperti cinta ibu pada anaknya dan sebaliknya. Tapi, hati-hati, tidak semua cinta membawa pada kedamaian. Cinta yang tidak halal pasti akan membawa kerusakan, terutama kerusakan hati.

Cintanya tidak salah. Yang salah adalah perbuatan manusia setelah cinta itu datang. Apa ia akan memperturutkannya hingga terjebak dalam dosa. Atau menjaga cinta agar tetap dalam jalur yang suci dan diridhoi Allah. Seperti cinta sayyidina Khadijah pada Rasulullah atau cinta sayyidina Fathimah pada Ali bin Abi Thalib." Mbak Sari memberi wejangan pada kami dalam keputrian pekanan ini. Wejangan yang malah membuatku semakin sedih.

Kenapa semua jadi begini, saat hatiku telah terbuka untuk menerima dia sebagai pendamping hidup. Kenapa cinta ini pergi saat aku telah membuka hati. Kenapa ia harus datang jika langsung pergi setelah membuat aku jatuh hati. Ya, aku belum bisa ikhlas melepaskan kepergian Rudi, lelaki yang membuat hati ini serasa patah.

Aku tahu bukan perasaan seperti ini yang diinginkan Allah, karena antara aku dan Rudi belumlah halal. Tapi, aku hanya manusia biasa yang tak bisa mencegah ketika rasa itu hadir. Nyatanya, rasa ini tak pergi secepat saat ia datang. Dan, tinggal aku saja di sini, sendiri mengobati hati yang terlanjur berharap. Tuhan tolong hamba-Mu ini.

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang